Sang Pemula

Saturday, August 05, 2006

GEA...Oh...GEA...

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Namun Balai Sarbini Jakarta masih tetap gegap gempita, penuh sorak sorai penonton. Penonton masih tegang menunggu Daniel dan Ata mengumumkan siapa yang bakal pulang malam itu dan siapa yang bakan maju ke Grand Final Indonesian Idol. Indonesia memilih: "Gea, kamu harus pulang malam ini," kata Ata dan Daniel. Akhirnya Ihsan dan Dirly bakal beradu di grand final nantinya.
Bak sebuah drama yang berliku-liku dan dramatis, Indonesian Idol telah membawa dua orang yang sebelumnya "bukan siapa-siapa" menjadi seorang yang Wow. Dirly, Si Ganteng asal Manado terus menunjukkan kemampuannya dalam olah suara ditengah cercaan hanya mengandalkan tampang doang. Ihsan, Si Kalem dari Sumatra masih melaju walaupun kata juri belum banyak perkembangan. Dan Gea, mojang centil asal Bandung, harus angkat koper sebelum babak grand final dijalankan.
Penonton seakan diaduk-aduk perasaannya, saat Ibu Dirly bercerita kenapa baru sekarang bisa hadir di Jakarta. Penonton seakan terhanyut dalam cerita saat Ibunda Gea bercerita tentang Gea dan Ayahnya. Dan penonton seperti dipaksa menitikkan air mata saat Ihsan dan Bapaknya bercerita masa lalunya. Abang becak dipersimpangan Malioboro yang sempat menontong acara ini, tersentuh hatinya saat Dirly digadang-gadang menjadi tulang punggung keluarga. Mak Erot, tukang pijat kenamaan di Kota Gudeng yang sedang menemani cucunya menonton acara ini, seakan mengingat suaminya yang telah tiada seperti yang diceritakan Ibunda Gea. Dan Mawar, pelacur Sarkem yang menonton acara ini sambil menunggu pelanggan yang akhir-akhir ini turun drastis karena banyaknya operasi dari Satpol PP, ingat masa lalunya di kampung halaman saat Ihsan dan Bapaknya bercerita jaman dahulu kala.
Perasaan. Itulah kenapa kita bersimpati dengan seseorang. Dan perasaan pula yang bisa membawa sinetron Tersanjung hingga episode ke 1.000 (mungkin...). Setiap relung jiwa manusia, siapapun dia, saat perasaannya disentuh oleh cerita atau keadaan yang menggetarkan, jiwa dan hatinya seakan berkata: Oh sungguh kasihan dia...
Rasa iba, seakan selalu menyelimuti setiap manusia saat melihat orang tertindas, teraniaya. Namun, orang tertindas atau teraniaya belum tentu bisa dilihat semuanya. Atau juga, ada sebagian orang teraniaya dan tertindas sengaja diciptakan agar kita semua berkata, Apa? Oh sungguh kasihan dia...
Logika. Stop, itukan kepunyaan bangsa barat, nanti hilang corak kebudayaan asli Indonesia. Nanti westernisasi menggejala. Ya, mungkin manusia Indonesia masih alergi terhadap logika. Bukan hanya Anda, tetapi juga saya. Tahukah Anda, saat Ihsan bercerita, mata saya juga ikut berkaca-kaca. Dan logika tetap mati rasa di bumi pertiwi ini dan perasaan yang bukan pada tempatnya masih menjadi juara.
Akankah bangsa ini dibangun oleh perasaan saja. Pemikir Bangsa ini, Tan Malaka pernah berkata: Hanya logika yang bisa membebaskan bangsa ini! Dan kini, hanya perasaan yang berkuasa dibumi negara ini.
Saat memilih idola, pak lurah, bupati, ketua RT, ketua karang taruna, imam pengajian, ketua OSIS, pemimpin pergerakan, manajer perusahaan hingga presiden, akankah selalu perasaan yang dibawa dan mematikan logika yang berkata: Seperti apa dan bagaimana kemampuan dia?
Hanya satu kata dalam sebuah moment, saat Daniel dan Ata, atau KPU berkata: Indonesia memilih? dan kita jawab saja...OH SUNGGUH KASIHAN DIA...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home