Sang Pemula

Monday, April 23, 2007

Sukses, SMS & Sarjana Sosialis

Pesan singkat (sms) dari seorang kawan, membuka pagi yang cerah saat pakaian toga malah bikin gerah badan saja, saat dasi kupu-kupu seperti mencekik leher dan saat seremoni perwisudaan malah seperti acara arisan.
Bejibun sms memang masuk di Ponselku pagi itu dan semuanya ada kata saktinya “Selamat” atau “Semoga Sukses”, tapi masalahnya kalau tidak sukses gimana? Terlalu sering rasanya aku mendengar kata “Semoga Sukses” dan masalah yang muncul berikutnya adalah kalau tidak sukses gimana?, seperti pernah ditulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam buku Affair.
Bukan maksud aku menganggap remeh dan enteng serta mengesampingkan perhatian kawan dan rekan saat memberi ucapan selamat, namun aku pikir hidup tak selamanya harus sukses, termasuk pula diriku saat dan setelah diwisuda. Bukankah tiap orang punya kadar dan ukuran sendiri-sendiri soal kesuksesan.
Dari puluhan sms yang masuk, aku terkesan sama sms seorang kawan yang lebih dulu “sukses” diwisuda. Sekali lagi aku harus bilang, bahwa bukannya sms dari kawan-kawanku yang lainnya tidak berkesan atau tidak berarti, tapi aku harus jujur bahwa sms kawanku yang satu ini, tidak hanya berkesan tapi juga memberi arti. Ini smsnya: Selamat, akhirnya resmi juga menjadi S.Sos, Sarjana Sosialis.
Aku hanya bisa tersenyum getir saat sms itu ku baca. Bagaimana tidak aku tersenyum getir membaca sms itu, lha kapitalisme sedang berkuasa, Bung! Dan terasa lebih getir lagi saat para sarjana baru seperti aku ini dipaksa dan terpaksa harus masuk ke dalam lubang kapitalisme. So, bisa jadi Sarjana Sosialis, hanya utopia belaka.
Jaring-jaring kapitalisme sepertinya begitu kuat mencengkram dunia ini dan seperti enggan mengurangi jeratannya bagi para korban barunya, sarjana yang baru aja diwisuda. Semuanya tersilaukan oleh “cahaya terang” kapitalisme, termasuk juga aku, kini.
Sarjana yang baru saja melepas toga seakan tidak ada kesempatan untuk memilih, setelah semua jerat kapitalisme terlalu berkuasa. Memang, masih ada pilihan untuk tidak masuk ke dalam jerat kapitalisme, namun “Apa kata dunia”* terhadap orang seperti itu, mungkin ucapan seperti ini yang akan terdengar “Ah orang gila, cari sensasi saja. Diajak sukses kok tidak mau”.
Begitu haibatnya kapitalisme hingga ukuran kesuksesan pun telah diciptakannya. Mobil BMW, setelan jas dan dasi, sepatu hak tinggi untuk perempuan hingga gaya makan di fastfood atau juga wangi parfum bikinan Italy atau Prancis. Tanpa itu semua, bisa jadi manusia kini tidak dianggap sukses. Kalau semua manusia sukses meraihnya mungkin tak ada masalah, tapi kalau tidak sukses bagaimana? Bahkan, jika dihitung bisa jadi manusia sukses ala kapitalisme lebih sedikit dari mereka yang terkena cap “tidak sukses”.
Hingga kini, aku percaya bahwa sukses hidup yang ada saat ini tak sepenuhnya benar adanya karena aku masih percaya bahwa setiap orang memiliki patokan dan ukuran tersendiri dalam melihat kesuksesan. Setiap orang masih punya mata dalam merasakan kesuksesan. Sukses bagi aku belum tentu sukses bagi kamu, begitu juga sebaliknya. Atau lebih baik para sarjana yang baru saja mendapat ijazah ramai-ramai bilang “Aku tidak ingin sukses saja, sukses ala mereka, aku ingin sukses ala diriku.”
Sarjana Sosialis, kata kawanku, masih saja mengganjal dalam pikiran, akankah itu semua menjadi kenyataan atau hanya menjadi impian saat tidur semata, aku tak tahu.

* kata-kata yang sering diucapkan Naga Bonar (Deddy Mizwar) dalam film Naga Bonar dan Naga Bonar Jadi 2.


NB. Bung Kriwil mau kredit mobil BMW, biar dianggap sukses.

Sunday, April 22, 2007

Pecundang

Aku pecundang
Kamu pecundang
Manusia pecundang
Kita semua pecundang

Aku hanya tulang belulang
Kamupun tak lebih dari itu
Manusia hanya tulang belulang
Kita semua tak lebih dari itu

Dunia menciptakan pecundang
Aku, kamu, manusia, kita semua
Tulang belulang yang dipecundangi
Dipercundangi dan mempercundangi

Semua…semua…semuanya
Buat pecundang kayak gue
Life suck…rock n roll…yeah…*

Dialog dalam film Realita Cinta dan Rock N Roll


NB. Bung Kriwil punya cita-cita, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga, biar ndak jadi pecundang.

DUNIA INI

Aku bilang ini adalah cita-cita. Kawanku bilang ini cita-cita. Aku bilang ini adalah impian. Kawanku bilang ini adalah rutinitas. Duniaku dan dunia kawanku memang sama, dunia ini. Hanya tempat yang membuat aku dan kawanku berbeda, namun selebihnya sama, dunia ini.
Sejak dulu aku punya cita-cita aku bakalan berada di dunia ini. Kawankupun juga. Aku mengejarnya, kawankupun tak mau ketinggalan. Aku mencoba miniti jalan menuju dunia ini, begitupula dengan kawanku.
Akhirnya aku tiba di dunia ini. Kawanku juga telah berada di dunia ini. Semuanya sama, hanya tempat yang membuat aku dan kawanku berbeda, namun pada initinya sama, dunia ini.
Aku sempat berpisah dengan dunia ini. Itu juga yang sempat dialami kawanku. Aku harus pergi menuju dunia yang lainnya. Kawanku lebih dulu kembali lagi di dunia ini, hanya saja beda tempatnya. Sekarang aku kembali lagi di dunia ini, dunia yang dulu sempat aku injak, dunia yang dulu pernah aku rasa, dunia yang penuh cita, dunia yang membawa aku dari mimpi menjadi nyata. Aku kembali ke dunia ini dengan tempat yang sama, kawanku di tempat yang berbeda.
Aku masih bilang dunia ini adalah cita dan impian. Kawanku bilang dunia ini adalah cita dan rutinitas. Aku dan kawanku memang berbeda walaupun kami hidup dalam dunia yang sama, dunia ini, dunia yang menjadi cita-cita aku dan kawanku.
Namun, aku dan kawanku sependapat bahwa kami sama-sama teralienasi. Aku jadi ingat kawanku yang lainnya di dunia ini, dia bilang dunia ini menjadikan dirinya teralienasi. Aku tak bisa berkata, aku hanya membenarkannya karena aku juga merasakannya, aku, kawanku, kawanku yang lainnya merasakan hal yang sama, alienasi.
Aku masih berpikir dunia ini adalah impian. Kawanku tetap bilang dunia ini adalah rutinitas belaka. Katanya masih ada impian mendatang yang lebih dari dunia ini. Aku rasa kawanku ini ada benarnya juga. Aku malah bimbang, dunia ini impian atau hanya rutinitas belaka. Aku letih setelah seharian berada di dunia ini.

NB. Bung Kriwil lagi baca buku Kapital-nya Karl Marx, katanya dunia ini menjadi sumber atas segala sumber atas alienasi.

Fatamorgana

Melihat air, dahaga hilang seketika
Memandang bulan, serasa terbang ke awan
Menyambut pagi, kehidupan terus menari
Memeluk senja…merah…merah menyala

Menatap cinta, kasih jauh di pelupuk mata
Sinar bintang, membawa hidup terbang melayang
Ramai kota, hanya sampah belaka
Sepi desa, kehidupan surga

Mata tertipu, hati membatu
Mulut membeku, rasa ini kelu
Teriakan…teriakan semu

Malu…malu…
Hantu…hantu…
Palsu…palsu…


NB. Bung Kriwil jadi juragan kaos oblong di Malioboro, dagang Dagadu Palsu.

Aku (Masih) Ingin Jatuh Cinta

“Cinta itu bisa nyenengin banget, tapi juga bisa sangat nyakitin”, kata itu terucap dari bibir Sandra (Nadine Chandrawinata) kepada Ipang (Vino G Bastian) dalam film Realita Cinta dan Rock n Roll.
Aku kira apa yang diucapkan Sandra ada benarnya juga, bahkan mungkin juga banyak benarnya. Bukan karena cakepnya Nadine saat memerankan Sandra, tapi soal cinta yang nyenengin dan nyakitin terlalu sering aku dengar dari banyak orang.
Aku jadi berpikir, mengapa masih banyak orang yang ingin jatuh cinta? Mungkin mereka pikir dengan cinta, mereka bisa senang, tapi bukankah cinta juga bisa nyakitin. Aku tak tahu, toh setiap orang punya alasan sendiri-sendiri, mengapa dia jatuh cinta.
Kalau dipikir-pikir, proses jatuh cinta hingga akhirnya cinta itu menjadi nyata, butuh waktu yang lama juga. Dari mencari, menyaring, memproses, mendekati, mengukuhkan cinta, bahkan ada juga yang dibumbui adegan ranjang segala. Soal adegan ranjang terserah kalian saja yang menilainya, kalaupun iya jangan lupa pakai kondom ya.
Proses panjang itu, kadang bisa mulus kadang juga penuh jurang menganga hingga kandas di tengah jalan. Kalau yang mulus mungkin sekarang sudah merasakan nyeneginnya dan nyakitinnya cinta. Kalau yang kandas mungkin belum juga merasakannya semuanya, termasuk juga yang adegan ranjang itu.
Tapi aku pikir orang-orang itu banyak nekadnya, sudah kandas eh masih coba-coba juga, lagi-lagi jatuh cinta. Kadang mulus kadang kandas, yang mulus bisa rasakan nyenengin dan nyakitinnya cinta, yang kandas coba lagi. Atau yang tadinya mulus jadi kandang di tengah jalan dan coba lagi dari awal. Begitu seterusnya.
Aku tak tahu yang dirasakan orang-orang tentang jatuh cinta, namun yang ku tahu bahwa aku telah lama tak merasakannya. Atau aku kini sedang ingin jatuh cinta?


NB. Bung Kriwil berpesan, hati-hati bermain perasaan, kadang bisa menipu lho.

Tuesday, March 27, 2007

I will be BACK

Kemarin dulu, aku nonton sinetron Hidayah, ada seorang alim ulama bilang di hadapan seorang anak muda “Hai anak muda, kembalilah kamu ke jalan yang benar.”
Kalimat yang diucapkan sang alim ulama itu seakan menjadi cerminan bagi diriku. Ah, tapi ini bukan soal agama, mungkin aku kurang ngeh kalau bicara agama. Jalan memang kadang berliku, tak tentu arahnya dan penuh lubang. Bagi sebagian orang jalan berliku, tak tentu arahnya dan penuh lubang jadi sebuah tantangan. Bagi sebagian orang lainnya jalan berliku, tak tentu arahnya dan penuh lubang harus dihindari demi keselamatan diri. Aku rasa tak ada yang salah dari keduanya, toh tiap orang yang akan memilih jalannya sendiri-sendiri.
Sempat aku berjalan di jalan yang tidak terlalu mulus, penuh liku dan tidak sedikit jurang menganga di tepi jalan, tapi aku suka di jalan itu. Pas ada persimpangan, aku dipaksa untuk berbelok katanya jalan itu akan diperbaiki, maka berbeloklah aku. Di jalan yang baru itu, jalannya mulus, lebar dan tidak banyak kelokannya. Aku nyaman berjalan di jalan baru itu, tapi hati ini kurang sreg terlalu lama berada di jalan itu. Akhirnya aku tidak hanya berjalan, tapi berlari agar segera berakhir jalan baru itu.
Ada persimpangan. Aku berhenti sebentar. Eh, ada papan penunjuk jalan, jalan lama yang dulu sempat aku lewati harus belok kiri. Aku belum tahu apakah jalan itu masih seperti yang dulu, tidak terlalu mulus, penuh liku dan tidak sedikit jurang menganga di tepi jalan. Atau kini jalan itu sudah berubah menjadi mulus, lebar dan tidak banyak kelokannya. Aku tak tahu itu, tapi hati ini menuntunku untuk kembali ke jalan dulu itu. I will be BACK.

NB. Bung Kriwil bilang, katanya banyak jalan yang berlubang karena dana perbaikannya dikorupsi.

PERSIMPANGAN

AKU MASIH BERGELUT DENGAN GULINGKU, DENGAN BUKUKU, DENGAN ROKOKKU, DENGAN KOPIKU, DENGAN KOMPUTERKU, DENGAN MIMPIKU.

AKU BERHENTI DI PERSIMPANGAN, AKU BINGUNG, AKU RESAH, AKU GELISAH, MAU KE MANA AKU.

KABUT TEBAL TAK JUGA TERSIBAK, CAHAYA BULAN ENGGAN BERSINAR, AKU TERTATIH-TATIH MENCARI JALAN, AKU DI PERSIMPANGAN.

AKU BERTANYA, SIAPA MAU MENJAWAB, AKU BERJALAN PELAN UNTUK MEMASTIKAN, KABUT MASIH SAJA TEBAL.

AH, SUDAHLAH AKU HARUS BERJALAN, AKU MESTI JALAN, TAK MUNGKIN SELAMANYA AKU BERADA DI PERSIMPANGAN. LAMPU HIJAU MENYALA.


NB. Bung Kriwil jadi Pak Ogah di perempatan jalan, katanya banyak pengguna jalan yang bingung soal tujuan.

Kalau Mimpi Sudah Nyata, Terus Mau Apa...

Tiga bulan lamanya, aku hanya memiliki satu mimpi. Aku hanya memimpikan satu hal, hanya satu, dan aku berusaha merengkuhnya untuk menjadi kenyataan. Kini, mimpi itu sudah nyata dan aku mulai bertanya, kalau mimpi sudah nyata, terus mau apa?
Aku berpikir bahwa hidup itu dibangun dari mimpi-mimpi. Kata orang gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Kalau cita-cita itu bagian dari mimpi hidup, maka tak salah kiranya jika kita mimpi untuk menjadi yang terbaik bagi diri kita sendiri. Bahkan, kemarin dulu aku pernah dengar Tukul Arwana bilang kalau mimpi itu yang tinggi sekalian, nanti kalau tidak tercapai masih lumayan baik daripada mimpi yang rendah nanti kalau tidak tercapai, bisa tidak berarti apa-apa.
Mimpi, katanya hanya ada dalam dunia tidur saja. Tapi aku pikir mimpi ada juga di dalam dunia nyata, ya seperti aku bilang tadi, hidup itu dibangun dari mimpi-mimpi. Bagiku hidup tanpa mimpi artinya hidup tanpa nafas. Ada istilah dalam agama bahwa “urip kuwi mampir ngombe” (hidup itu datang sebentar untuk minum) karena nanti ada dunia yang lebih kekal lagi. Jujur saja, aku kurang sepaham dengan pendapat “urip kuwi mampir ngombe”, aku tidak ingin hidup hanya sekedarnya minum, tapi aku ingin mengejar banyak hal tidak hanya minum, tapi juga makan, main dll. Ambisius? Mungkin juga, tapi aku pikir hidup tanpa ambisi, hidup tanpa hati. Ambisiku harus berjalan dengan hatiku, ambisi tanpa hati bisa jadi hanya kekonyolan hidup. Dan aku hanya berambisi aku hidup menjadi diriku sendiri, aku adalah aku.
Kini, mimpiku sudah nyata, terus mau apa? Aku pikir aku harus mengejar mimpi yang lebih tinggi dan besar lagi. Bukankah kalian sudah tahu tadi kalau aku penuh ambisi dan tentunya aku tidak hanya ingin hidup dengan slogan “urip kuwi mampir ngombe”.

NB. Bung Kriwil lagi sibuk jualan Es Cendol karena banyak orang yang datang ke warungnya untuk mampir ngombe.

Tuesday, March 13, 2007

Aku Ingin Bicara Kenangan (2)

Ada kenangan, aku ingin mengenangmu
Aku terkenangmu oh…mimpiku
Dalam mimpi aku terkenang
Aku selalu mengenangmu

Aku tersenyum dalam kenangan
Aku bersedih untuk kenangan
Aku bermimpi demi kenangan
Aku meratapimu…oh kenanganku

Bayang-bayang selalu terbayang
Mimpi-mimpi terbawa mimpi
Harapan-harapan menjelma kenyataan
Kenangan-kenangan…aku selalu mengenangmu

Tak kulupa kenanganku
Tak kulepas kenanganku
Aku masih ingin merengkuhmu
Oh kenanganku…

Aku pergi untuk kenangan
Aku terbang demi kenangan
Aku bermimpi untuk kenangan
Aku mengenang mimpi-mimpi
Demi kenyataan aku mengenangmu
Oh kenanganku…

NB. Bung Kriwil no coment dulu ach...

Aku Ingin Bicara Kenangan

Terbuat dari apakah kenangan? Aku tak pernah bisa mengerti, mengapa pemandangan itu selalu kembali dan kembali lagi, tulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam Cerpennya Kyoto Monogatari. Belum lama memang aku membaca Cerpen itu. Masih hangat di pikiranku tentang Cerpen itu dan aku jadi sering berpikir tentang kenangan yang kadang timbul tenggelam dalam kehidupanku.
Kadang-kadang gambaran masa lalu yang terekam, tiba-tiba saja muncul tanpa diminta dan saat itulah pikiranku melayang soal kenangan. Ah, masa lalu memang telah lewat bukan, tapi kenangan yang semua terekam tak pernah mati seperti katanya The Upstair, bukan?
Memang tak semua kenangan muncul dipikiranku akhir-akhir ini karena banyak kenangan yang terekam dengan huruf tebal dan tidak sedikit juga kenangan yang tulisannya kecil-kecil dan tak jelas. Tak bisa aku pungkiri, ada kenangan yang begitu dalam menusuk tulang hingga menembus sungsum-sungsumku. Namun ada juga kenangan yang hanya berbekas di pori-pori kulitku alias mudah terhapus oleh segala macam sapuan hidup.
Namun, kenangan yang muncul akhir-akhir ini semuanya memiliki tema yang sama: kuliah. Aku tak tau mengapa aku mengenang masa kuliah yang begitu bergairah, atau karena aku akan segera meninggalkan dunia itu? Memang aku kini masih kuliah, namun jika tidak ada aral merintang tinggal dalam hitungan hari aku segera pergi meninggalkan dunia itu. Dan kehidupanku selama lima tahun terakhir ini yang timbul tenggelam dalam pikiranku akhir-akhir ini? Ah, betapa cepatnya waktu berjalan.
Kyoto Monogatarinya SGA yang mengenang perempuan di tengah badai salju yang hebat, membawa aku dalam kenanganku lima tahun lalu saat kali pertama memasuki kuliah. Saat lembaran koran lokal Jogja mengabarkan padaku bahwa aku gagal memasuki universitas negeri terkemuka di Jogja. Waktu lembaran koran itu juga yang menjadi petunjuk bahwa aku diterima universitas swasta di Jogja.
Komunikasi, itulah jurusan yang dulu sempat menjadi mimpi, dan lima tahun yang lalu sudah ada di hadapan mata. Masih membekas dalam pikiran saat segepok uang rupiah aku serahkan sebagai tanda pembayaran awal. Masih bisa aku ingat dengan begitu jelasnya bola-bola pingpong terikat di kakiku, celana hitam, kaos oblong putih yang pada akhirnya nanti penuh dengan coretan sebagai tanda perpisahan dan juga topi berbentuk kerucut yang selalu aku kenakan saat Ospek. Teringat juga muntahan kata-kata yang memekakkan telinga, kadang menyebalkan kadang lucu dan kadang terkesan dibuat-buat dalam Ospek yang sebenarnya malas aku ikuti.
SGA memiliki kenangan saat perempuan itu tertatih-tatih berjalan di badai salju, aku terkenang saat kuliah pertama yang bernama dasar-dasar logika digelar hari Senin jam tiga sore. Namun sayang aku lupa tanggal pastinya, namun aku ingat pasti hari dan jamnya. Aku ingat pula saat mulai berkenalan denga tiga orang yang hingga akhir kuliah menjadi kawan seperjuangan.
Aku tersenyum sendiri saat menuliskan kenanganku ini, aku ingat awal-awal kuliah begitu culunnya aku dengan kehidupan baruku itu. Ah, tapi tak apa, aku bangga dengan diriku saat itu. Ya, aku bangga sebagai mahasiswa yang saat itu biasa-biasa saja, tidak terkenal, tidak juga terasing atau singkatnya standar dan biasa-biasa saja. Hingga saat ini aku menjelang akhir kuliah, aku merasa aku adalah mahasiswa yang biasa-biasa saja. Bukan aktivis yang berjuang mulia, tidak terkenal karena kaya ataupun muka, tidak juga mahasiswa yang mengikuti tren terbaru dalam berpakaian, bukan juga mahasiswa yang hanya kuliah terus pulang. Aku merasa biasa dengan diriku yang menjadi mahasiswa biasa.
Tak ada yang tahu kenapa perempuan itu meninggalkan rumah dan menghadapi badai salju, tulis SGA. Tak ada yang tahu kenapa tahun kedua kuliah aku memilih menepi dan menyepi di tengah buku-buku yang saat itu agak terkesan lucu. Sampai saat inipun aku tak habis pikir, kenapa tiba-tiba gairah membaca dan menulisku begitu meledak-ledak dam membawa aku dalam sebuah dunia baru, membaca…membaca…dan membaca, baru kemudian beberapa waktu aku belajar menulis. Ah, Seno Gumira, aku jadi ingat Kitab Omong Kosongmu saat Satya berbicara dengan Maneka bahwa membaca tidak hanya membaca tulisan tapi juga kehidupan dari dari membaca kita bisa menulis. Buku yang katanya sastra, politik, sosial hingga yang katanya lagi agak filsafat menjadi teman setiaku sejak empat tahun terakhir hingga saat ini.
Cinta, itulah kata yang baru aku kenal setelah dua setengah tahun menjalani kuliah. Atas nama cinta itu pula, tak hanya hatiku dan hatinya berpadu, tapi juga tubuh kami menyatu. Kamu percaya itu atas nama cinta? Aku tak tahu hingga sekarang, yang aku tahu, tubuh kami menyatu karena kami sama-sama mau. Atas dasar cinta? Aku tak tahu, atau itu hanya nafsu belaka, aku juga tak tahu.
Tiga tahun berjalan begitu cepatnya serasa aku baru meninggalkan halte bus yang tak terlalu jauh. Banyak kenangan yang teringat banyak juga yang terlupa dan aku tidak tahu terbuat dari apa kenangan itu, seperti kata SGA. Kenangan kadang juga membingungkan saat kehidupan sepertinya berubah atau berbalik begitu saja dan aku menyadarinya saat aku kuliah sambil bekerja atau saat itu mungkin lebih tepatnya bekerja sambil kuliah.
Wartawan magang itulah pekerjaanku yang baru, selain menjadi mahasiswa kalau status mahasiswa dapat disebut sebagai pekerjaan. Dulu saat aku SMA, pingin jadi wartawan dan satu tahun yang lalu, wartawan bukan lagi impian tapi sebuah kenyataan. Banyak kenangan yang bisa terucap dan tidak bisa terucap, melihat pelaku kriminal dari dekat, melihat aksi polisi yang katanya memberantas kejahatan, melihat penangkapan orang yang katanya teroris, melihat muramnya wajah petani saat harga pupuk melambung tinggi, melihat pelaku korupsi dilepaskan, melihat warga di lereng Merapi yang harus mengungsi, melihat sebagian warga Klaten yang terhempas gempa. Aku tidak ingin sekedar melihat, aku juga selalu berusaha merasakannya.
Kehidupan seperti juga kenangan, kadang berbalik begitu saja, tanpa tahu mengapa itu semua terjadi. Setahun menjadi wartawan magang, aku harus melepaskan itu semuanya dan kembali ke status asliku mahasiswa. Aku sedih, namun juga bahagia. Aku sedih karena harus meninggalkan dunia yang dulu menjadi mimpiku. Aku bahagia karena aku telah merasakan mimpiku.
Kini, kenangan seakan begitu dekat dan nyata bagiku. Bayang-bayang itu tak terhapus dan tak terlupa. Aku segera meninggalkan dunia mahasiswa yang aku cinta. Aku sedih dan ingin merengkuhnya kembali. Aku tahu, selepas ini aku harus melanjutkan mimpiku lagi dan menceritakannya untuk kalian semua. Perempuan itu berjalan di dataran salju meninggalkan jejak yang panjang tulis SGA. Aku berjalan selama lima tahun terakhir ini dan meninggalkan jejak yang tak kalah panjangnya.

NB. Bung Kriwil menilai kenangan tak tersentuh, tapi selalu terasa.

Wednesday, February 07, 2007

Jadi Pengungsi

Kalau bicara bencana, tak afdol kiranya jika kita tidak ngomongin pengungsinya. Dalam satu bulan, ribuan hingga jutaan rakyat Indonesia menjadi pengungsi di negeri sendiri.
Tahun 2007 baru berjalan sebulan lamanya. Perayaan rame-rame malam tahun baru belum juga hilang dari ingatan, tapi ribuan hingga jutaan rakyat Indonesia sudah harus menyandang status baru: Pengungsi. Sebenarnya, komentator blog ini, Bung Kriwil pernah memperingatkan kita tentang masalah ini, bahwa bukan tidak mungkin tahun 2007 akan lebih berat dari tahun sebelumnya (baca Ketika BK Tak Hanya di-NB (CATBK), red). Tak bisa tidak, ketika tidak lebih dari satu bulan lamanya rakyat Indonesia beralih status menjadi Pengungsi, saya jadi ingat tulisan pertama Bung Kriwil itu.
Awalnya saya tertegun melihat berita di TV akhir-akhir ini. Banjir di Aceh dan Sumatera Utara, longsor di Padang, gempa di Sumatra, dan puncaknya banjir Jakarta. Ah, bencana tidak hanya berakhir dengan derita saja, tetapi secara otomatis menciptakan sebuah status baru bagi para korbannya: Pengungsi. Rakyat Indonesia di Aceh, Sumatra Utara, Padang hingga Jakarta yang baru saja menyandang status sebagai Pengungsi menambah deretan panjang Pengungsi di negeri ini. Ribuan warga Porong masih mengungsi, sebagian warga Bantul dan Klaten yang terhempas gempa bumi Mei 2006 masih tinggal di rumah darurat, Poso yang masih terus bergejolak melahirkan Pengungsi lagi.
Jadi Pengungsi berarti mengungsi dari kehidupan normal sehari-hari. Tidak hanya mengungsi dari rumah yang terrendam lumpur, pergi dari rumah yang roboh karena gempa, meninggalkan rumah yang tergenang air, atau mengungsi takut terkena peluru nyasar, tapi menjadi Pengungsi juga berarti mengungsi dari status normal sebagai manusia dan rakyat Indonesia pada umumnya. Ada yang mengungsi di pasar, ada yang di tepi-tepi jalan, ada yang di fly over, ada yang pindah ke masjid atau sekolahan, namun ada juga yang mengungsi ke hotel atau malahan ke Singapura atau KL. Kayaknya, tren baru, mengungsi sambil belanja.
Nah, kalau dihitung secara matematis, jumlah pengungsi yang ada di Indonesia totalnya bisa mencapai jutaan atau puluhan juta. Saya tidak berani menyebutkan angka pasti karena selain saya tidak punya data yang valid, saya juga bermasalah dengan angka. Coba kita hitung dengan kasar saja, Pengungsi di Aceh, Padang, Sumatra Utara, dan Jakarta. Masih ditambah Pengungsi tahun-tahun sebelumnya di Porong, Poso, Bantul dan Klaten. Atau bisa juga di Atambua atau Ambon masih ada pengungsinya. Ini baru Pengungsi yang tercipta dari bencana dan konflik saja, tapi masih ada “Pengungsi-Pengungsi Lain” yang semakin memperpanjang deretan Pengungsi di negeri ini.
“Pengungsi-Pengungsi Lain” menyandang status Pengungsi bukan karena bencana ataupun konflik, tapi karena mereka dipaksa menjadi Pengungsi. Demi mal ataupun perumahan mewah, rumah dari kardus terus digusur dan dihilangkan di kota-kota besar dan akhirnya korban penggusuran itu, pun layak disebut sebagai Pengungsi. Nah, semakin banyak bukan, tapi kita tidak tahu angka pastinya. Mungkin ini menjadi tugas Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan Survey Pengungsi.
Survey Pengungsi ini sangat penting untuk mendata jumlah pengungsi di negeri ini. Bukan hanya berfungsi untuk menyalurkan bantuan bagi pengungsi saja, tapi juga bisa berguna atau melihat bagaimana pemerintah mengatasi masalah Pengungsi dan menghilangkan status Pengungsi bagi rakyatnya.
Atau malahan pemerintah sengaja menciptakan Pengungsi di negeri ini dan menganggap adanya Pengungsi adalah hal yang wajar dalam setiap bencana. Mungkin kita bisa dengar ucapan Bang Yos soal banjir di Jakarta, “Banjir tahun ini adalah siklus lima tahunan seperti tahun 2002 lalu. Jadi ini hal yang biasa.” Mungkin bangsa kita bangsa yang terbiasa dengan bencana dan akhirnya akan semakin terbiasa juga dengan Pengungsi.


NB. Bung Kriwil baru saja beli t-shirt baru bikinan Insist Press yang ada tulisannya “PENGUNGSI INDONESIA Mengungsi di Negeri Sendiri”.

Saturday, January 20, 2007

Ksatria Semut

Perang telah usai dan Ksatria Semutlah yang menjadi pemenangnya…
Tanpa syarat sedikitpun saya harus mengaku kalah dan dengan ikhlas hati, saya harus merelakan tampuk kepemimpinan Ruang Tak Bertuan kepada Ksatria Semut. Ya, saya kalah perang, bukan perang dunia, tidak perang inteljen, bukan juga perang teknologi apalagi perang urat syaraf, tapi ini adalah perang senyata-nyatanya perang dan saya menyebutnya Perang Kehidupan.
Dua pekan lamanya perang ini terjadi di sebuah medan pertempuran seluas 2,75x2,5 meter di suatu tempat yang bernama Ruang Tak Bertuan. Serangan demi serangan dilacarkan kedua belah pihak. Berbagai taktik bertahan diterapkan. Beberapa kali gencatan senjata terjadi, tapi perang belum juga usai atau tampak mereda, bahkan semakin menggila. Dan hasilnya, saya harus terlempar dari daerah itu.
Inilah kisah awal mula pertempuran itu…
Empat tahun yang lalu saya datang di suatu daerah yang bernama Ruang Tak Bertuan. Di tempat itu, saya mulai mengatur kehidupan pribadi. Dan lama-kelamaan saya tidak hanya mengatur kehidupan saya pribadi, tetapi juga mengatur makhluk lain yang tinggal di Ruang Tak Bertuan. Kewibawaan dan kebajikan yang saya bawa menjadikan popularitas saya di Ruang Tak Bertuan terus menanjak dan mulai mengurangi kewibawaan Pemerintah Ruang Tak Bertuan.
Walhasil, tak lebih dari dua pekan saya tinggal di Ruang Tak Bertuan, saya dicalonkan menjadi Pemimpin Revolusi Ruang Tak Bertuan. Dengan kebulatan tekat, saya akhirnya mampu menampuk amanat sebagai Pemimpin Revolusi Ruang Tak Bertuan. Setelah pemimpin lama dapat digulingkan dari kekuasaan, saya akhirnya di pucuk pimpinan Ruang Tak Bertuan. Dan saat itupula saya namai pemerintahan saya, Pemerintahan Revolusioner Ruang Tak Bertuan (PRRTB).
PRRTB mulai saya jalankan. Rakyat masih terlena dengan uforia revolusi. Aparat pemerintahan masih sibuk mengamankan jatah makan dan perut sendiri. Pengusaha masih mencari celah untuk berdikari sedangkan saya sendiri, mulai mengatur strategi agar kekuasaan ini langgeng dan abadi.
Kuku-kuku kekuasaan mulai saya tancapkan, kebijakan propribadi saya terapkan, keuangan untuk diri sendiri sudah saya jalankan. Dan saat semuanya kembali normal, terlambat sudah bagi rakyat, aparat pemerintah ataupun pengusaha menyadarinya. Saya sudah terlalu kuat bagi mereka.
Para penjilat mulai berkumpul di sekitar kekuasaan saya. Mereka ingin berbagi roti dengan saya. Mereka ingin meneguk keuntungan di atas penderitaan sesamanya. Dan saya, saya akan memanfaatkan penjiat sebagai anjing penjaga saya. Dan akhirnya, hanya satu kata untuk menggambarkan kekuasaan saya: Kekerasan.
Untuk melanggengkan kekuasaan PRRTB, segala cara saya lakukan, stabilitas dengan kekerasan, ekonomi dengan pemerasan, politik dengan pembunuhan kaum oposan, budaya dengan menghidupkan pelupaan, sejarah dengan kultus pribadi dan semua lini kehidupan saya ciptakan untuk kekuasaan saya sebagai Pemimpin Revolusi Ruang Tak Bertuan.
Empat tahun tak ada kekuatan yang bisa melumpuhkan saya. Tak ada kepemimpinan yang melebihi kepemimpinan saya. Namun, suatu ketika ada segerombolan rakyat yang menamakan dirinya Ksatria Semut melakukan pemberontakan yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Sikap represif yang saya tunjukkan telah menciptakan dunia bawah tanah yang tidak bisa saya sentuh. Dan merekalah Ksatria Semut yang membangun dunia bawah tanah itu. Dan hanya satu tuntutan yang diajukan Revolusi Kehidupan.
Pemberontakan sistematis mulai menjalar di mana-mana. Kekuatan Ksatria Semut lebih dari dugaan saya semula. Aparat Represif yang saya miliki langsung bergerak menghalau pemberontakan dan mulai saat itulah perang berkobar.
Senjata mekanik yang dimiliki Aparat Represif mulai terdengar di mana-mana di setiap sudut Ruang Tak Bertuan. Sedangkan Ksatria Semut tidak membawa senjata sama sekali, tidak pistol, tidak mortir tidak pula bambu runcing, hanya kebersamaanlah senjata mereka.
Perang terus berkecamuk, kantong-kantong pemberontakan Revolusi Kehidupan terus digempur Aparat Represif atas perintah langsung dari saya. Dan sayapun tersenyum saat kantong-kantong pemberontakan dimusnahkan. Hanya segitu kekuatan Ksatria Semut? Namun, tak lama berselang, kantong pemberontakan baru muncul kembali. Dengan taktis dan cepat Aparat Represif kembali bekerja dan lagi-lagi kantong pemberontakan itu musnah tak bersisa.
Namun, suatu senja, ratusan ribu atau mungkin juga jutaan rakyat yang mengaku sebagai Ksatria Semu melakukan show of force di depan Gedung PRRTB tempat saya bekerja. Melihat begitu banyaknya rakyat yang menjadi Ksatria Semut, maka pemberontakan kali ini tidak dapat saya anggap remeh. Tak hanya senjata otomatis yang saya siapkan, namun senjata pemusnah masal juga telah siap menghancurkan Ksatria Semut.
Setelah beberapa waktu tidak menunjukkan aktivitasnya, Ksatria Semut kembali melakukan aksi besar-besaran di salah satu sudut Ruang Tak Bertuan. Padahal, saat itu saya sedang mengunjungi daerah itu. Tanpa pikir panjang, kali ini tak ada kata ampun bagi Ksatria Semut. Kewibawaan saya telah dijatuhkan dengan adanya aksi tersebut. Kali ini saya perintahkan Aparat Represif untuk menggunakan senjata pemusnah masal untuk menghancurkan Ksatria Semut.
Senjata impor ini mulai mencari mangsa untuk dilenyapkan dan hasilnya tidak hanya ribuan Ksatria Semut yang musnah tetapi juga kantong-kantong pemberontakan rata dengan tanah. Inilah prestasi terbesar saya menghancurkan Ksatria Semut hanya dalam waktu sekejap. Dan sayapun optimis, Revolusi Kehidupan telah musnah seiring musnahnya ribuan Ksatria Semut.
Namun, dugaan saya meleset, Ksatria Semut kembali muncul di sudut lain Ruang Tak Bertuan dengan jumlah yang begitu besar. Bahkan, aparat pemerintah, pengusaha hingga Aparat Represif bergabung bersama Ksatria Semut untuk menghadapi saya sendirian. Tak ada kekerasan yang Ksatria Semut munculkan, hanya teriak-teriak revolusi yang semakin memekakkan telinga saya. Posisi saya terjepit saat tidak ada lagi aparat pemerintah, pengusaha, Aparat Represif hingga kaum penjilat yang berpihak pada saya. Saat itulah saya sadari perang yang saya ciptakan sendiri akhirnya menghancurkan saya. Tanpa daya, saya mengaku kalah dan menyerah tanpa syarat. Dan perang telah usai dengan kemenangan Ksatria Semut. Semua kekuasaan telah beralih tangan.
Dua hari kemudian saya harus meninggalkan Ruang Tak Bertuan. Saat berada di daerah perbatasan Ruang Tak Bertuan, sayup-sayup saya masih mendengar teriakan Revolusi…Revolusi…Revolusi Sampai Mati. Dan saya bertanya, apakah pemimpin revolusi harus jatuh dengan revolusi juga?

NB. Bung Kriwil hanya bisa bilang: Ini sudah saatnya Revolusi, Kawan!

Tuesday, January 02, 2007

Ketika BK Tak Hanya di-NB (CATBK)

Minggu sore, 31 Desember 2006, dengan tergopoh-gopoh Bung Kriwil (BK) mendatangi saya. Hujan belum juga reda, bahkan semakin menggila. Sampai-sampai pemerintah “beriklan” memperingatkan rakyatnya akan bahaya banjir, longsor dan sebagainya. Televisipun masih menyiarkan banjir, longsor dan kapal tenggelam. Ach…
Hujan deras sepertinya tidak menghalangi niat besar BK untuk menemui saya. Bahkan, jas hujan yang dikenakannya sampai-sampai lupa dilepaskannya. Sebagai tuan rumah yang baik, saya langsung menemui BK. Dan kagetnya, bukan kata-kata yang keluar dari mulutnya, tapi secarik kertas buram keluar dari saku celananya. BK langsung menyodorkan kertas buram itu kepada saya. Saya terima kertas buram yang tulisannya mulai luntur terkena air hujan. Seperti editor koran nasional terkemuka saya baca tulisan dalam kertas itu kata demi kata. Detail demi detail dan akhirnya kalimat terakhir sudah saya baca.
“Terus ini apa maksudnya ?” tanya saya membuka pembicaraan.
“Menurut kamu gimana tulisannya ?” balas BK balik nanya.
Saya hanya manggut-manggut saja tanpa memberi jawaban sedikitpun.
“Saya ingin tulisan ini dimuat di blogmu,” lanjut BK setelah saya tidak merespon pertanyaannya.
“Selama ini saya bertugas sebagai komentator tulisan-tulisanmu untuk bagian NB saja. Itupun hanya keluar satu atau dua kalimat saja. Gimana kalo untuk tulisan tutup tahun yang ngisi aku saja, nah kamu kebagian ngisi NB-nya saja ?” jelas BK mengutarakan maksudnya.
“Ooo…gitu ya,” jawab saya dingin.
“Iya, aku tahu tulisanku belum bagus banget dan sempurna. Aku sadar aku masih perlu banyak belajar dalam hal tulis menulis. Aku juga paham kalo aku belum melek karya sastra dunia, tapi bukankah aku tetep punya kesempatan untuk dapat menulis, aku kan juga punya hak. Tolong dong beri aku kesempatan,” kata BK.
“Iya…iya…jangan merengek-rengek gitu dong. Semua orang memang punya hak untuk menulis, tapi…,”.
Belum sempat saya akhiri kalimat itu, azan Magrib sudah di telinga dan pembicaraanku dengan BK harus berakhir sore itu. “Mungkin bisa kamu pertimbangan. Aku sangat berharap ada kabar baik dari kamu,” ujar BK sambil meninggalkan rumah saya.
Malam itu juga saya baca berkali-kali tulisan BK. Yeah, saya rasa perayaan tahun baru kali ini harus saya lupakan dan ditinggalkan demi secarik kertas buram dengan tulisan yang rada-rada memusingkan pikiran (Bukan hanya isinya, tapi tulisannya kayak cakar ayam, sumpah&ampun deh…).
Kalau ditilik lebih dalam lagi, tulisan BK yang diberi judul “Catatan Akhir Tahun Bung Kriwil” (CATBK) ini, baik dari segi gaya bahasa, diksi atau pilihan kata, alur tulisannya, saya rasa tulisannya memang tidak terlalu istimewa dan jauh dari sempurna. Apalagi untuk sebuah catatan akhi tahun, waduh nggak komplit kayak gado-gado gitu. Belum lagi gaya tulisannya, waduh kurang mecing dengan blog saya (yang katanya pembaca setia, cool abis), itu yang akhirnya menguras pikiran dan perasaan saya, tentunya selain tulisannya yang tidak lebih baik dari cakar ayam itu.
Hingga dinihari alias tahun sudah berganti, saya masih pegangi tulisan BK. Tulisan yang sudah pudar semakin memudar, kertas yang lecek semakin lecek. Beberapa kata mulai sulit dibaca dan ini semakin memusingkan kepala. Namun, bagaimanapun juga saya tetap mencoba merasai tulisan itu, tulisan kawan saya BK.
Tiba-tiba saja, perasaan takut menyeruak di dalam diri saya, jangan-jangan tulisan ini akan rusak dan kemudian musnah jika saya baca terus menerus. Pikiran soal kesempatan juga menggelayuti otak ini. Setiap orang memang harus diberi kesempatan untuk berkarya termasuk menulis,saat media-media pasaran jauh dari harapan. Bukan soal hasil dari karya, tapi lebih ke adanya kesempatan yang pada akhirnya bisa menjadikan karya akan lebih sempurna.
Selain itu, saya pernah mendengar kabar dari seorang dokter terkemuka di Indonesia (kamu percaya???), ternyata jika pemikiran tidak difungsikan dalam kata-kata, otak manusia akan semakin menua dan tidak bisa bekerja. Bahkan, kata dokter itu (kamu masih tetap percaya???), kanker prostat hingga impotensi bisa menggejala jika pemikiran banyak yang tersumbat. Dokter itu menganalogikan saat manusia memasuki masa puber, muncul banyak jerawat karena banyak hal yang tidak tersalurkan (Kalo kamu percaya aku ada contact person-nya).
Dan mungkin memang sudah saatnya kesempatan harus dibuka dengan lebar-lebar agar tidak banyak manusia yang otaknya menua belum pada waktunya dan tentunya kanker prostat serta impotensi mengancam umat manusia. Ach, Bung Kriwil, kawan saya yang baik beruntung benar kau kali ini. Dan inilah tulisannya, tanpa editing sedikitpun (Bukannya sudah sempurna, tapi saya bingung, bagian mana yang harus diedit). Okey selamat menikmati dan sebelumnya, kepada pembaca setia blog ini, saya mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya jika tulisan di bawahi ini kurang berkenan di hati kalian. Maafkanlah???

“Catatan Akhir Tahun Bung Kriwil”
Tanpa terasa tahun 2006 sudah pergi meninggalkan kita. Banyak kejadian yang tak terduga terjadi, program-program hidup banyak tercecer dan tidak sedikit harapan tinggal kenangan. Memang saya bukan seorang pemilik stasiun TV atau koran, tapi saya juga ingin mengikuti tren media setiap tutup tahun yaitu refleksi akhir tahun. Dan agar lebih memudahkan pembaca, saya bagi sesuai tema-tema yang ada dan akan saya mulai dari…
Politik
Kata kawan saya yang kuliah di FISIP, politik itu ternyata Tai Kucing. Itu definisi yang dibuatnya sendiri bukan Aristoteles, Thomas Hobbes atau Marchiavelli. Namun, bagi saya, politik itu sama artinya dengan membingungkan. Dan memang harus saya akui, saya tidak terlalu mendalami dan mengikuti perkembangan politik, namun kabar anggota DPR YZ yang main cinte dengan penyanyi dangdut (???) ME sudah meruntuhkan kepercayaan saya terhadap dunia politik.
Kebijakan pemerintah yang katanya pro kapitalis dan memeras keringat dan darah rakyat juga tidak banyak saya pahami, namun yang nyata bagi saya, penjual nasi goreng langganan saya terpaksa harus menaikkan tarifnya karena beras dan Sembako lainnya melambung tinggi. Akhirnya politik semakin membingungkan saya saat mereka para menteri, gubernur dan pejabat lainnya berteriak-teriak akan kehidupan rakyatnya dan rakyat sendiri semakin sesak merasakan kehidupan.
Ekonomi
Wajah penyiar Metro TV Maria Kalaj masih bisa saya ingat. Terkesan cerdas selain wajahnya yang cantik tentunya. Suatu sore, saya ikuti headline news di stasiun TV tersebut yang melakukan live report dari Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sore itu, BEJ resmi tutup tahun dan kemeriahan tampak menonjol selama penutup itu dan hal ini sangat wajar karena BEJ tutup tahun dengan segudang prestasi selama tahun 2006 yaitu peningkatan indeks harga saham No 1 se Asia Tenggara dan No 3 se dunia. Bahkan, ibu menteri keuangan (saya lupa namannya?) yang secara simbolis menutup pasar saham itu tampak tersenyum manis sambil meniupkan terompet saat ribuan balon dilepas dari atas gedung BEJ.
Bagi saya, ekonomi tahun ini tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya, bahkan tahun ini mi instant dan nasi angkringan lebih banyak memasuki rongga-rongga perut saat makanan yang lebih dari itu semakin tidak terjangkau saya. Dan yang cukup meyesakkan saya adalah pengangguran semakin nyata di hadapan mata, saat kawan dan rekan yang baru saja lulus masih bingung dan sibuk mencari kerja karena lapangan kerja yang semakin langka. Layakkan kita berpesta ibu menteri???
Sosial
Saya tidak tahu harus berkata-kata apa untuk kehidupan sosial bangsa ini. hati dan pikiran saya kusut membicarakan masalah sosial, mungkin sekusut masalah sosial bangsa ini selama tahun 2006?
Budaya
Suatu ketika, saya dan kawan saya pernah diskusi soal budaya dan ternyata antara kami berdua berbeda persepsi soal budaya. Bagi kawan saya, budaya berkaitan dengan ritual-ritual adat, kraton hingga peninggalan budaya lainnya. Bagi saya, budaya itu sendiri tidak lain dan tidak bukan adalah apa yang ada dalam kehidupan manusia.
Saya menilai budaya tidak selalu berarti pakaian tradisional, kesenian Jadoel, kraton ataupun ritual adat lainnya, tapi budaya adalah lingkaran hidup manusia yang berjalan. Mungkin tidak seindah dan sesuci budaya yang ada sejak jaman dulu, tapi itu adalah proses pembudayaan hati, pikiran dan tindakan diri.
Budaya kita jaman dulu katanya memang agung tapi romantisme Jadoel bisa sia-sia belaka jika budaya yang ada malah menghancurkan kita. Sudahkan 2006 berbeda? Ah mungkin hanya saya saja yang “gila” memikirkan budaya yang ada saat ini.
Lain-Lain
Ada banyak hal dan tema yang sebenarnya dapat saya bicarakan dan diceritakan, salah satunya yang menarik minat saya adalah dunia selebritis dan sinetron. Tapi, apa daya saya, dunia selebritis seakan semu bagi saya dan sinetron yang ada masih saja membikin kita tertawa karena jauh dari realita. Mungkin tewasnya Alda, video mesumnya YZ-ME, poligaminya Aa Gym hingga pernikahan Dona Agnesia hanya sepotong bumbu kehidupan di Indonesia ini dan mungkin masih ada bumbu-bumbu kehidupan manusia Indonesia lainnya yang belum terungkap?
Epilog
2006, saya hanya bisa mengelus dada untuk pemiskinan bangsa, runtuhnya kehidupan sosial, busuknya politik, budaya yang menggejala hingga penjualan bangsa, hancurnya tata kehidupan dan mungkin juga tewasnya Alda. Berlebihankah? Mungkin juga. Tapi semoga ini menjadi kaca bagi kita dan semoga kacanya tidak buram.
Kalau setahun cinta, asa, bahagia dan sedih, kemalangan silih berganti mengisi kehidupan kita, mengapa tidak tahun 2007 hal-hal itu bisa muncul lagi. Kita hanya bisa mempersiapkan diri untuk kehidupan bangsa yang mungkin akan semakin buruk. Takutnya saya, kaca yang ada hanya buram semua dan sudah pecah, waduh itu baru bahaya…

Salam Cinta

Bung Kriwil

NB. Karena Bung Kriwil tak hanya di NB lagi dan kini giliran saya (pemilik blog) mengisi NB-nya. Karena ini pengalaman pertama saya hanya bisa berkata “Selamat Tahun Baru”, dan mungkin sistem yang ada bisa membuat kita lebih sengsara dan menderita jadi pesannya “Selamat Datang Juga Indonesia Penjual Bangsa-Negara” (Bersiaplah!). Soal kaca, bagi yang berminat bisa hubungi saya, ada stok banyak, tidak buram dan anti pecah. Maaf kalau terlalu banyak NB-nya, mungkin reaksi kimia ciu semalam masih terasa…