Sang Pemula

Thursday, August 17, 2006

Celana Dalam Warna Hitam & Perayaan Kemerdekaan

Besok, tanggal 17 Agustus 2006 dan kini jam sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB. Tiga jam terakhir, saya menghabiskan waktu di sebuah Warnet langganan di Seputaran Babarsari, Jogja. Lima batang rokok Djarum Super yang empat di antaranya saya beli di Warnet tersebut plus satu batang rokok sisa dari kos sudah habis. Satu botol Frestea dan satu potong roti kini tidak lagi bersisa dan sudah saatnya untuk segera meninggalkan Warnet setelah beberapa email terkirim, beberapa kata tertulis di-blog dan melihat serta mencari teman di Friendster telah terlaksana dengan tuntas.
Rp 14.500, saya keluarkan malam itu di Warnet dan kini di dalam dompet Eiger yang saya beli hampir enam tahun yang lalu kini tinggal menyisakan uang Rp 25.000 dan beberapa lembar uang ribuan dan recehan di kantong celana jeans yang saya beli dari gaji pertama. Setelah bertegur sapa sebentar dengan pemilik Warnet yang lagi sibuk makan bakso dan ngobrol soal komputer, akhirnya dengan Honda Astera Grand tahun 1995 Nopol AA 4402 MB, saya meninggalkan Warnet.
Karena saya tidak pernah tenang saat dompet sudah mulai menipis, mesin ATM di Universitas Atmajaya adalah tujuan berikutnya. Paling tidak uang Rp 100.000 bisa menjaga saya hingga tiga atau empat hari ke depan. Dan setibanya di tempat itu, tujuh orang sudah berbaris rapi di luar box mesin ATM. Dan hanya beberapa menit berikutnya antrean ATM sudah semakin memanjang dan saya ikut larut di dalamnya.
Tak biasanya, antrean sepanjang ini, tapi saya ingat, inikan malam kemerdekaan, mungkin semua orang membutuhkan banyak uang untuk mempersiapkan dan merayakan kemerdekaan. Di hadapan saya, berdiri ibu muda yang menggunakan pakaian cukup seksi sehingga saya bisa melihat celana dalamnya yang berwarna hitam, mungkin mengambil uang untuk membeli hadiah perlombaan kemerdekaan. Di depannya ibu muda ini berdiri, seorang perempuan berumur 20-an dengan ditemani pacarnya, mungkin mereka mengambil uang untuk merayakan kemerdekaan di suatu tempat yang bisa membuat mereka nyaman. Serta, seorang lelaki di belakang saya, yang usianya masih sekitar belasan yang sedari tadi sibuk menyanyikan lagu grup band Ungu sambil bercerita dengan kawannya tentang ramainya diskotik, mungkin mengambil uang untuk merayakan kemerdekaan di diskotik bersama kawan-kawan. Dan, saya sendiri, mengambil uang hanya untuk bertahan hidup saja, saat gaji dari perusahaan masih turun pekan depan.
Setelah urusan dengan ATM dan celana dalam berwarna hitam, jalan di Babarsari saya lewati tanpa ada kesan yang mendalam selain celana dalam warna hitam ibu muda yang masih menggelayuti pikiran. Pulang ke kos lewat jalan Selokan Mataram saya lupakan, setelah kemarin malam jalan ini amblas, tepat di dekat selokan yang putus akibat gempa bumi dan masih dalam proses perbaikan. Sebelum sampai di pertigaan Citrouli yang merupakan satu-satunya jalan yang harus saya lalui, kemacetan sudah menghadang di depan saya. Tak biasanya, jalan ini macet seperti ini, tapi saya ingat, inikan malam kemerdekaan, mungkin orang sibuk cari angin sambil merayakan kemerdekaan.
Parkir di bahu jalan tepat di depan rumah makan yang bernama Sambal Super atau Super Sambal yang tidak saya ingat nama pastinya tetapi terkenal dengan nama SS ternyata juga menjadi pangkal penyebab kemacetan. Seingat saya, SS memang ramai, tetapi tidak seramai ini. Tapi saya ingat, inikan malam kemerdekaan, mungkin orang sibuk cari makan sambil membicarakan dan merayakan kemerdekaan. Kemacetan jalan akhirnya dapat saya tinggalkan, namun keramaian jalan masih tetap terlihat di sepanjang Seturan, depan UPN Veteran hingga warung makan depan Casa Grande yang menjadi persingahan saya berikutnya.
Ponsel Siemens A 50 seharga Rp 425.000 yang saya beli dua tahun yang lalu berdering dan sebuah SMS sudah masuk di nomer Mentari yang sudah saya gunakan sejak jaman SMA. Ternyata, teman kos memberitahukan, rombongan anak kos akan pergi ke klithikan Jalan Mangkubumi sehingga kunci kos harus disimpan dan mereka memberi tahu dimana lokasi persembunyian kunci itu.
Saya berpikir, kok tumben, teman-teman kos pergi ke klitihkan secara rombongan, biasanya yang pergi ke klithikan hanya perseorangan saat harga barang di mal tidak terjangkau dan klithikan menjadi satu-satunya pilihan. Tapi saya ingat, inikan malam kemerdekaan, mungkin teman-teman jalan ke klithikan sambil menjaga keakraban dan mungkin juga turut meramaikan perayaan kemerdekaan.
Sendirian. Saya akhirnya sendirian di kos yang terkenal dengan nama Kos Plung, padahal nama aslinya cukup keren Joyo Mulyo. Namun, tiba-tiba, sayup-sayup suara orang dari pengeras suara yang tidak begitu jelas isinya, namun ada kata tirakatan yang sempat diucapkan. Kok tirakatan, tapi saya ingat, inikan malam kemerdekaan dan tiap malam kemerdekaan, tirakatan menjadi sebuah tradisi yang acaranya harus diadakan.
Tidak ada kerjaan, akhirnya saya menyibukkan diri dengan membaca buku Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad. Jam sudah menunjukkan pukul 00.15 WIB tanggal 17 Agustus 2006 dan teman-teman belum juga pulang. Suara-suara orang yang yang melakukan tirakatan masih terdengar pelan, tapi mata dan pikiran saya masih tertuju pada Catatan Pinggir, namun dalam hati saya membisikkan kata-kata kemerdekaan. Bukan tentang Warnet, ATM dan celana dalam hitam, SS, keramaian jalan, klithikan, atau tirakatan yang semuanya berbau perayaan kemerdekaan, tapi mengapa tiba-tiba hati saya mentertawakan kemerdekaan…

0 Comments:

Post a Comment

<< Home