Sang Pemula

Sunday, November 19, 2006

Menembus ruang dan waktu, 30 detik bersama David dan Luna, bicara soal Presiden Indonesia & 3x3

Lampu merah menyala dan David mendekati saya. Sebuah lagu yang tidak jelas isinya karena kebisingan suara termuntahkan dari mulut kecilnya. Untuk jadi seorang penyanyi, saya rasa David kurang tepat, intonasinya tidak jelas dan mungkin juga ucapannya cenderung malas.
Ya, David mengamen di hadapan saya. Dan itu hal yang biasa ditemui di sudut-sudut Kota Buaya ini. Anak kecil yang usianya 10 tahunan mengusik ketenangan dan meminta perhatian dari saya. Sedikit saya gambarkan kondisi David saat itu, kaos oblong warna kuning yang sudah agak kumal dan kedodoran. Celana pendek warna coklat sedikit sobek di beberapa bagiannya dan wajah yang tampak tak punya dosa.
10 Detik pertama pertemuan saya dan David, tanpa kata selain sebuah lagu yang dinyanyikan David dan tidak saya tahu apa artinya. Saya mencoba menembus ruang dan waktu yang ada dan berkata, “Kamu sekolah tidak?”.
“Sekolah dong,” jawabnya.
“Kelas berapa?,” tanya saya lagi.
“Tiga SD,” balasnya.
10 Detik kedua, saya dan David larut dalam pertanyaan soal David yang masih bersekolah atau tidak. Dan kini, saya merasa tidak terusik tentang keberadaannya. Kota Buaya makin bising saja yang menyesakan dada. Asap knalpot kendaraan makin menggila dan saya terusik karenanya.
“Kalau kamu sekolah, coba 3x3 berapa?,” tanya saya.
“9,” jawabnya pendek.
Lampu merah mulai meredup dan tergantikan warga hijau. 10 Detik berikutnya, saya mengetes David dan berhasil, segenggam uang recehan kini berpindah tangan sudah.
Beberapa hari berikutnya, saya ketemu Luna dan sama halnya, Luna tak beda dengan David. Kata-kata mengalir deras dari mulut mungilnya saat lampu merah menyala. Di hadapan saya, Luna berkata-kata yang tidak juga saya ketahui apa maksudnya. Dan ini mungkin karena bisingnya Kota Buaya. Anjing!
10 Detik pertama, tak ada kata terucap. Dan untuk kali kedua, saya kembali mencoba menembus ruang dan waktu yang ada dan berkata, “Kamu sekolah tidak?”.
“Tidak,” jawabnya.
“Kalau tidak tahu 3x3 nggak?,” tanya saya.
“Tau dong…emmm 9,” jawabnya cepat.
10 Detik berikutnya saya dan Luna larut dalam hitungan angka. Luna mengaku tidak sekolah dan dia tau 3x3.
“Kalau Presiden Indonesia siapa?,” tanya saya selanjutnya.
“Ndak tau,” kata dia.
“Masak sih, ndak tau,” balas saya.
“Emmm…ndak tau,” jawab Luna.
10 Detik terbuang sudah dan lampu merah telah tertelam lampu hijau dan uang recehan berpindah tangan dengan cepat dengan meninggalkan kenangan bersamanya.
Ini bukan soal uang recehan yang berpindah cepat dari tangan saya ke tangan David atau Luna atau soal 3x3 dan Presiden Indonesia. Tapi soal ruang dan waktu. Kadang, kita membatasi ruang dan waktu kita terhadap sesuatu yang kita anggap tidak penting dan tidak perlu. Ruang dan waktu kita hanya kita gunakan, untuk kita dan segala urusannya yang tidak perlu mengindahkan kehidupan orang lain.
David dan Luna hanya sebagian manusia yang tersisih dari ruang dan waktu manusia pada umumnya. Dan mungkin akan semakin tersisih kehidupannya, jika 30 detik saja tidak ada ruang dan waktu untuk mereka.

NB. Bung Kriwil sibuk jadi tim sukses Pilkada di Kota Buaya ingin ketemu David dan Luna biar calonnya dapat simpati dari masyarakat.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home