Sang Pemula

Saturday, January 20, 2007

Ksatria Semut

Perang telah usai dan Ksatria Semutlah yang menjadi pemenangnya…
Tanpa syarat sedikitpun saya harus mengaku kalah dan dengan ikhlas hati, saya harus merelakan tampuk kepemimpinan Ruang Tak Bertuan kepada Ksatria Semut. Ya, saya kalah perang, bukan perang dunia, tidak perang inteljen, bukan juga perang teknologi apalagi perang urat syaraf, tapi ini adalah perang senyata-nyatanya perang dan saya menyebutnya Perang Kehidupan.
Dua pekan lamanya perang ini terjadi di sebuah medan pertempuran seluas 2,75x2,5 meter di suatu tempat yang bernama Ruang Tak Bertuan. Serangan demi serangan dilacarkan kedua belah pihak. Berbagai taktik bertahan diterapkan. Beberapa kali gencatan senjata terjadi, tapi perang belum juga usai atau tampak mereda, bahkan semakin menggila. Dan hasilnya, saya harus terlempar dari daerah itu.
Inilah kisah awal mula pertempuran itu…
Empat tahun yang lalu saya datang di suatu daerah yang bernama Ruang Tak Bertuan. Di tempat itu, saya mulai mengatur kehidupan pribadi. Dan lama-kelamaan saya tidak hanya mengatur kehidupan saya pribadi, tetapi juga mengatur makhluk lain yang tinggal di Ruang Tak Bertuan. Kewibawaan dan kebajikan yang saya bawa menjadikan popularitas saya di Ruang Tak Bertuan terus menanjak dan mulai mengurangi kewibawaan Pemerintah Ruang Tak Bertuan.
Walhasil, tak lebih dari dua pekan saya tinggal di Ruang Tak Bertuan, saya dicalonkan menjadi Pemimpin Revolusi Ruang Tak Bertuan. Dengan kebulatan tekat, saya akhirnya mampu menampuk amanat sebagai Pemimpin Revolusi Ruang Tak Bertuan. Setelah pemimpin lama dapat digulingkan dari kekuasaan, saya akhirnya di pucuk pimpinan Ruang Tak Bertuan. Dan saat itupula saya namai pemerintahan saya, Pemerintahan Revolusioner Ruang Tak Bertuan (PRRTB).
PRRTB mulai saya jalankan. Rakyat masih terlena dengan uforia revolusi. Aparat pemerintahan masih sibuk mengamankan jatah makan dan perut sendiri. Pengusaha masih mencari celah untuk berdikari sedangkan saya sendiri, mulai mengatur strategi agar kekuasaan ini langgeng dan abadi.
Kuku-kuku kekuasaan mulai saya tancapkan, kebijakan propribadi saya terapkan, keuangan untuk diri sendiri sudah saya jalankan. Dan saat semuanya kembali normal, terlambat sudah bagi rakyat, aparat pemerintah ataupun pengusaha menyadarinya. Saya sudah terlalu kuat bagi mereka.
Para penjilat mulai berkumpul di sekitar kekuasaan saya. Mereka ingin berbagi roti dengan saya. Mereka ingin meneguk keuntungan di atas penderitaan sesamanya. Dan saya, saya akan memanfaatkan penjiat sebagai anjing penjaga saya. Dan akhirnya, hanya satu kata untuk menggambarkan kekuasaan saya: Kekerasan.
Untuk melanggengkan kekuasaan PRRTB, segala cara saya lakukan, stabilitas dengan kekerasan, ekonomi dengan pemerasan, politik dengan pembunuhan kaum oposan, budaya dengan menghidupkan pelupaan, sejarah dengan kultus pribadi dan semua lini kehidupan saya ciptakan untuk kekuasaan saya sebagai Pemimpin Revolusi Ruang Tak Bertuan.
Empat tahun tak ada kekuatan yang bisa melumpuhkan saya. Tak ada kepemimpinan yang melebihi kepemimpinan saya. Namun, suatu ketika ada segerombolan rakyat yang menamakan dirinya Ksatria Semut melakukan pemberontakan yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Sikap represif yang saya tunjukkan telah menciptakan dunia bawah tanah yang tidak bisa saya sentuh. Dan merekalah Ksatria Semut yang membangun dunia bawah tanah itu. Dan hanya satu tuntutan yang diajukan Revolusi Kehidupan.
Pemberontakan sistematis mulai menjalar di mana-mana. Kekuatan Ksatria Semut lebih dari dugaan saya semula. Aparat Represif yang saya miliki langsung bergerak menghalau pemberontakan dan mulai saat itulah perang berkobar.
Senjata mekanik yang dimiliki Aparat Represif mulai terdengar di mana-mana di setiap sudut Ruang Tak Bertuan. Sedangkan Ksatria Semut tidak membawa senjata sama sekali, tidak pistol, tidak mortir tidak pula bambu runcing, hanya kebersamaanlah senjata mereka.
Perang terus berkecamuk, kantong-kantong pemberontakan Revolusi Kehidupan terus digempur Aparat Represif atas perintah langsung dari saya. Dan sayapun tersenyum saat kantong-kantong pemberontakan dimusnahkan. Hanya segitu kekuatan Ksatria Semut? Namun, tak lama berselang, kantong pemberontakan baru muncul kembali. Dengan taktis dan cepat Aparat Represif kembali bekerja dan lagi-lagi kantong pemberontakan itu musnah tak bersisa.
Namun, suatu senja, ratusan ribu atau mungkin juga jutaan rakyat yang mengaku sebagai Ksatria Semu melakukan show of force di depan Gedung PRRTB tempat saya bekerja. Melihat begitu banyaknya rakyat yang menjadi Ksatria Semut, maka pemberontakan kali ini tidak dapat saya anggap remeh. Tak hanya senjata otomatis yang saya siapkan, namun senjata pemusnah masal juga telah siap menghancurkan Ksatria Semut.
Setelah beberapa waktu tidak menunjukkan aktivitasnya, Ksatria Semut kembali melakukan aksi besar-besaran di salah satu sudut Ruang Tak Bertuan. Padahal, saat itu saya sedang mengunjungi daerah itu. Tanpa pikir panjang, kali ini tak ada kata ampun bagi Ksatria Semut. Kewibawaan saya telah dijatuhkan dengan adanya aksi tersebut. Kali ini saya perintahkan Aparat Represif untuk menggunakan senjata pemusnah masal untuk menghancurkan Ksatria Semut.
Senjata impor ini mulai mencari mangsa untuk dilenyapkan dan hasilnya tidak hanya ribuan Ksatria Semut yang musnah tetapi juga kantong-kantong pemberontakan rata dengan tanah. Inilah prestasi terbesar saya menghancurkan Ksatria Semut hanya dalam waktu sekejap. Dan sayapun optimis, Revolusi Kehidupan telah musnah seiring musnahnya ribuan Ksatria Semut.
Namun, dugaan saya meleset, Ksatria Semut kembali muncul di sudut lain Ruang Tak Bertuan dengan jumlah yang begitu besar. Bahkan, aparat pemerintah, pengusaha hingga Aparat Represif bergabung bersama Ksatria Semut untuk menghadapi saya sendirian. Tak ada kekerasan yang Ksatria Semut munculkan, hanya teriak-teriak revolusi yang semakin memekakkan telinga saya. Posisi saya terjepit saat tidak ada lagi aparat pemerintah, pengusaha, Aparat Represif hingga kaum penjilat yang berpihak pada saya. Saat itulah saya sadari perang yang saya ciptakan sendiri akhirnya menghancurkan saya. Tanpa daya, saya mengaku kalah dan menyerah tanpa syarat. Dan perang telah usai dengan kemenangan Ksatria Semut. Semua kekuasaan telah beralih tangan.
Dua hari kemudian saya harus meninggalkan Ruang Tak Bertuan. Saat berada di daerah perbatasan Ruang Tak Bertuan, sayup-sayup saya masih mendengar teriakan Revolusi…Revolusi…Revolusi Sampai Mati. Dan saya bertanya, apakah pemimpin revolusi harus jatuh dengan revolusi juga?

NB. Bung Kriwil hanya bisa bilang: Ini sudah saatnya Revolusi, Kawan!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home