Sang Pemula

Wednesday, February 07, 2007

Jadi Pengungsi

Kalau bicara bencana, tak afdol kiranya jika kita tidak ngomongin pengungsinya. Dalam satu bulan, ribuan hingga jutaan rakyat Indonesia menjadi pengungsi di negeri sendiri.
Tahun 2007 baru berjalan sebulan lamanya. Perayaan rame-rame malam tahun baru belum juga hilang dari ingatan, tapi ribuan hingga jutaan rakyat Indonesia sudah harus menyandang status baru: Pengungsi. Sebenarnya, komentator blog ini, Bung Kriwil pernah memperingatkan kita tentang masalah ini, bahwa bukan tidak mungkin tahun 2007 akan lebih berat dari tahun sebelumnya (baca Ketika BK Tak Hanya di-NB (CATBK), red). Tak bisa tidak, ketika tidak lebih dari satu bulan lamanya rakyat Indonesia beralih status menjadi Pengungsi, saya jadi ingat tulisan pertama Bung Kriwil itu.
Awalnya saya tertegun melihat berita di TV akhir-akhir ini. Banjir di Aceh dan Sumatera Utara, longsor di Padang, gempa di Sumatra, dan puncaknya banjir Jakarta. Ah, bencana tidak hanya berakhir dengan derita saja, tetapi secara otomatis menciptakan sebuah status baru bagi para korbannya: Pengungsi. Rakyat Indonesia di Aceh, Sumatra Utara, Padang hingga Jakarta yang baru saja menyandang status sebagai Pengungsi menambah deretan panjang Pengungsi di negeri ini. Ribuan warga Porong masih mengungsi, sebagian warga Bantul dan Klaten yang terhempas gempa bumi Mei 2006 masih tinggal di rumah darurat, Poso yang masih terus bergejolak melahirkan Pengungsi lagi.
Jadi Pengungsi berarti mengungsi dari kehidupan normal sehari-hari. Tidak hanya mengungsi dari rumah yang terrendam lumpur, pergi dari rumah yang roboh karena gempa, meninggalkan rumah yang tergenang air, atau mengungsi takut terkena peluru nyasar, tapi menjadi Pengungsi juga berarti mengungsi dari status normal sebagai manusia dan rakyat Indonesia pada umumnya. Ada yang mengungsi di pasar, ada yang di tepi-tepi jalan, ada yang di fly over, ada yang pindah ke masjid atau sekolahan, namun ada juga yang mengungsi ke hotel atau malahan ke Singapura atau KL. Kayaknya, tren baru, mengungsi sambil belanja.
Nah, kalau dihitung secara matematis, jumlah pengungsi yang ada di Indonesia totalnya bisa mencapai jutaan atau puluhan juta. Saya tidak berani menyebutkan angka pasti karena selain saya tidak punya data yang valid, saya juga bermasalah dengan angka. Coba kita hitung dengan kasar saja, Pengungsi di Aceh, Padang, Sumatra Utara, dan Jakarta. Masih ditambah Pengungsi tahun-tahun sebelumnya di Porong, Poso, Bantul dan Klaten. Atau bisa juga di Atambua atau Ambon masih ada pengungsinya. Ini baru Pengungsi yang tercipta dari bencana dan konflik saja, tapi masih ada “Pengungsi-Pengungsi Lain” yang semakin memperpanjang deretan Pengungsi di negeri ini.
“Pengungsi-Pengungsi Lain” menyandang status Pengungsi bukan karena bencana ataupun konflik, tapi karena mereka dipaksa menjadi Pengungsi. Demi mal ataupun perumahan mewah, rumah dari kardus terus digusur dan dihilangkan di kota-kota besar dan akhirnya korban penggusuran itu, pun layak disebut sebagai Pengungsi. Nah, semakin banyak bukan, tapi kita tidak tahu angka pastinya. Mungkin ini menjadi tugas Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan Survey Pengungsi.
Survey Pengungsi ini sangat penting untuk mendata jumlah pengungsi di negeri ini. Bukan hanya berfungsi untuk menyalurkan bantuan bagi pengungsi saja, tapi juga bisa berguna atau melihat bagaimana pemerintah mengatasi masalah Pengungsi dan menghilangkan status Pengungsi bagi rakyatnya.
Atau malahan pemerintah sengaja menciptakan Pengungsi di negeri ini dan menganggap adanya Pengungsi adalah hal yang wajar dalam setiap bencana. Mungkin kita bisa dengar ucapan Bang Yos soal banjir di Jakarta, “Banjir tahun ini adalah siklus lima tahunan seperti tahun 2002 lalu. Jadi ini hal yang biasa.” Mungkin bangsa kita bangsa yang terbiasa dengan bencana dan akhirnya akan semakin terbiasa juga dengan Pengungsi.


NB. Bung Kriwil baru saja beli t-shirt baru bikinan Insist Press yang ada tulisannya “PENGUNGSI INDONESIA Mengungsi di Negeri Sendiri”.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home