Sang Pemula

Tuesday, March 13, 2007

Aku Ingin Bicara Kenangan

Terbuat dari apakah kenangan? Aku tak pernah bisa mengerti, mengapa pemandangan itu selalu kembali dan kembali lagi, tulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam Cerpennya Kyoto Monogatari. Belum lama memang aku membaca Cerpen itu. Masih hangat di pikiranku tentang Cerpen itu dan aku jadi sering berpikir tentang kenangan yang kadang timbul tenggelam dalam kehidupanku.
Kadang-kadang gambaran masa lalu yang terekam, tiba-tiba saja muncul tanpa diminta dan saat itulah pikiranku melayang soal kenangan. Ah, masa lalu memang telah lewat bukan, tapi kenangan yang semua terekam tak pernah mati seperti katanya The Upstair, bukan?
Memang tak semua kenangan muncul dipikiranku akhir-akhir ini karena banyak kenangan yang terekam dengan huruf tebal dan tidak sedikit juga kenangan yang tulisannya kecil-kecil dan tak jelas. Tak bisa aku pungkiri, ada kenangan yang begitu dalam menusuk tulang hingga menembus sungsum-sungsumku. Namun ada juga kenangan yang hanya berbekas di pori-pori kulitku alias mudah terhapus oleh segala macam sapuan hidup.
Namun, kenangan yang muncul akhir-akhir ini semuanya memiliki tema yang sama: kuliah. Aku tak tau mengapa aku mengenang masa kuliah yang begitu bergairah, atau karena aku akan segera meninggalkan dunia itu? Memang aku kini masih kuliah, namun jika tidak ada aral merintang tinggal dalam hitungan hari aku segera pergi meninggalkan dunia itu. Dan kehidupanku selama lima tahun terakhir ini yang timbul tenggelam dalam pikiranku akhir-akhir ini? Ah, betapa cepatnya waktu berjalan.
Kyoto Monogatarinya SGA yang mengenang perempuan di tengah badai salju yang hebat, membawa aku dalam kenanganku lima tahun lalu saat kali pertama memasuki kuliah. Saat lembaran koran lokal Jogja mengabarkan padaku bahwa aku gagal memasuki universitas negeri terkemuka di Jogja. Waktu lembaran koran itu juga yang menjadi petunjuk bahwa aku diterima universitas swasta di Jogja.
Komunikasi, itulah jurusan yang dulu sempat menjadi mimpi, dan lima tahun yang lalu sudah ada di hadapan mata. Masih membekas dalam pikiran saat segepok uang rupiah aku serahkan sebagai tanda pembayaran awal. Masih bisa aku ingat dengan begitu jelasnya bola-bola pingpong terikat di kakiku, celana hitam, kaos oblong putih yang pada akhirnya nanti penuh dengan coretan sebagai tanda perpisahan dan juga topi berbentuk kerucut yang selalu aku kenakan saat Ospek. Teringat juga muntahan kata-kata yang memekakkan telinga, kadang menyebalkan kadang lucu dan kadang terkesan dibuat-buat dalam Ospek yang sebenarnya malas aku ikuti.
SGA memiliki kenangan saat perempuan itu tertatih-tatih berjalan di badai salju, aku terkenang saat kuliah pertama yang bernama dasar-dasar logika digelar hari Senin jam tiga sore. Namun sayang aku lupa tanggal pastinya, namun aku ingat pasti hari dan jamnya. Aku ingat pula saat mulai berkenalan denga tiga orang yang hingga akhir kuliah menjadi kawan seperjuangan.
Aku tersenyum sendiri saat menuliskan kenanganku ini, aku ingat awal-awal kuliah begitu culunnya aku dengan kehidupan baruku itu. Ah, tapi tak apa, aku bangga dengan diriku saat itu. Ya, aku bangga sebagai mahasiswa yang saat itu biasa-biasa saja, tidak terkenal, tidak juga terasing atau singkatnya standar dan biasa-biasa saja. Hingga saat ini aku menjelang akhir kuliah, aku merasa aku adalah mahasiswa yang biasa-biasa saja. Bukan aktivis yang berjuang mulia, tidak terkenal karena kaya ataupun muka, tidak juga mahasiswa yang mengikuti tren terbaru dalam berpakaian, bukan juga mahasiswa yang hanya kuliah terus pulang. Aku merasa biasa dengan diriku yang menjadi mahasiswa biasa.
Tak ada yang tahu kenapa perempuan itu meninggalkan rumah dan menghadapi badai salju, tulis SGA. Tak ada yang tahu kenapa tahun kedua kuliah aku memilih menepi dan menyepi di tengah buku-buku yang saat itu agak terkesan lucu. Sampai saat inipun aku tak habis pikir, kenapa tiba-tiba gairah membaca dan menulisku begitu meledak-ledak dam membawa aku dalam sebuah dunia baru, membaca…membaca…dan membaca, baru kemudian beberapa waktu aku belajar menulis. Ah, Seno Gumira, aku jadi ingat Kitab Omong Kosongmu saat Satya berbicara dengan Maneka bahwa membaca tidak hanya membaca tulisan tapi juga kehidupan dari dari membaca kita bisa menulis. Buku yang katanya sastra, politik, sosial hingga yang katanya lagi agak filsafat menjadi teman setiaku sejak empat tahun terakhir hingga saat ini.
Cinta, itulah kata yang baru aku kenal setelah dua setengah tahun menjalani kuliah. Atas nama cinta itu pula, tak hanya hatiku dan hatinya berpadu, tapi juga tubuh kami menyatu. Kamu percaya itu atas nama cinta? Aku tak tahu hingga sekarang, yang aku tahu, tubuh kami menyatu karena kami sama-sama mau. Atas dasar cinta? Aku tak tahu, atau itu hanya nafsu belaka, aku juga tak tahu.
Tiga tahun berjalan begitu cepatnya serasa aku baru meninggalkan halte bus yang tak terlalu jauh. Banyak kenangan yang teringat banyak juga yang terlupa dan aku tidak tahu terbuat dari apa kenangan itu, seperti kata SGA. Kenangan kadang juga membingungkan saat kehidupan sepertinya berubah atau berbalik begitu saja dan aku menyadarinya saat aku kuliah sambil bekerja atau saat itu mungkin lebih tepatnya bekerja sambil kuliah.
Wartawan magang itulah pekerjaanku yang baru, selain menjadi mahasiswa kalau status mahasiswa dapat disebut sebagai pekerjaan. Dulu saat aku SMA, pingin jadi wartawan dan satu tahun yang lalu, wartawan bukan lagi impian tapi sebuah kenyataan. Banyak kenangan yang bisa terucap dan tidak bisa terucap, melihat pelaku kriminal dari dekat, melihat aksi polisi yang katanya memberantas kejahatan, melihat penangkapan orang yang katanya teroris, melihat muramnya wajah petani saat harga pupuk melambung tinggi, melihat pelaku korupsi dilepaskan, melihat warga di lereng Merapi yang harus mengungsi, melihat sebagian warga Klaten yang terhempas gempa. Aku tidak ingin sekedar melihat, aku juga selalu berusaha merasakannya.
Kehidupan seperti juga kenangan, kadang berbalik begitu saja, tanpa tahu mengapa itu semua terjadi. Setahun menjadi wartawan magang, aku harus melepaskan itu semuanya dan kembali ke status asliku mahasiswa. Aku sedih, namun juga bahagia. Aku sedih karena harus meninggalkan dunia yang dulu menjadi mimpiku. Aku bahagia karena aku telah merasakan mimpiku.
Kini, kenangan seakan begitu dekat dan nyata bagiku. Bayang-bayang itu tak terhapus dan tak terlupa. Aku segera meninggalkan dunia mahasiswa yang aku cinta. Aku sedih dan ingin merengkuhnya kembali. Aku tahu, selepas ini aku harus melanjutkan mimpiku lagi dan menceritakannya untuk kalian semua. Perempuan itu berjalan di dataran salju meninggalkan jejak yang panjang tulis SGA. Aku berjalan selama lima tahun terakhir ini dan meninggalkan jejak yang tak kalah panjangnya.

NB. Bung Kriwil menilai kenangan tak tersentuh, tapi selalu terasa.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home