Sang Pemula

Tuesday, March 27, 2007

I will be BACK

Kemarin dulu, aku nonton sinetron Hidayah, ada seorang alim ulama bilang di hadapan seorang anak muda “Hai anak muda, kembalilah kamu ke jalan yang benar.”
Kalimat yang diucapkan sang alim ulama itu seakan menjadi cerminan bagi diriku. Ah, tapi ini bukan soal agama, mungkin aku kurang ngeh kalau bicara agama. Jalan memang kadang berliku, tak tentu arahnya dan penuh lubang. Bagi sebagian orang jalan berliku, tak tentu arahnya dan penuh lubang jadi sebuah tantangan. Bagi sebagian orang lainnya jalan berliku, tak tentu arahnya dan penuh lubang harus dihindari demi keselamatan diri. Aku rasa tak ada yang salah dari keduanya, toh tiap orang yang akan memilih jalannya sendiri-sendiri.
Sempat aku berjalan di jalan yang tidak terlalu mulus, penuh liku dan tidak sedikit jurang menganga di tepi jalan, tapi aku suka di jalan itu. Pas ada persimpangan, aku dipaksa untuk berbelok katanya jalan itu akan diperbaiki, maka berbeloklah aku. Di jalan yang baru itu, jalannya mulus, lebar dan tidak banyak kelokannya. Aku nyaman berjalan di jalan baru itu, tapi hati ini kurang sreg terlalu lama berada di jalan itu. Akhirnya aku tidak hanya berjalan, tapi berlari agar segera berakhir jalan baru itu.
Ada persimpangan. Aku berhenti sebentar. Eh, ada papan penunjuk jalan, jalan lama yang dulu sempat aku lewati harus belok kiri. Aku belum tahu apakah jalan itu masih seperti yang dulu, tidak terlalu mulus, penuh liku dan tidak sedikit jurang menganga di tepi jalan. Atau kini jalan itu sudah berubah menjadi mulus, lebar dan tidak banyak kelokannya. Aku tak tahu itu, tapi hati ini menuntunku untuk kembali ke jalan dulu itu. I will be BACK.

NB. Bung Kriwil bilang, katanya banyak jalan yang berlubang karena dana perbaikannya dikorupsi.

PERSIMPANGAN

AKU MASIH BERGELUT DENGAN GULINGKU, DENGAN BUKUKU, DENGAN ROKOKKU, DENGAN KOPIKU, DENGAN KOMPUTERKU, DENGAN MIMPIKU.

AKU BERHENTI DI PERSIMPANGAN, AKU BINGUNG, AKU RESAH, AKU GELISAH, MAU KE MANA AKU.

KABUT TEBAL TAK JUGA TERSIBAK, CAHAYA BULAN ENGGAN BERSINAR, AKU TERTATIH-TATIH MENCARI JALAN, AKU DI PERSIMPANGAN.

AKU BERTANYA, SIAPA MAU MENJAWAB, AKU BERJALAN PELAN UNTUK MEMASTIKAN, KABUT MASIH SAJA TEBAL.

AH, SUDAHLAH AKU HARUS BERJALAN, AKU MESTI JALAN, TAK MUNGKIN SELAMANYA AKU BERADA DI PERSIMPANGAN. LAMPU HIJAU MENYALA.


NB. Bung Kriwil jadi Pak Ogah di perempatan jalan, katanya banyak pengguna jalan yang bingung soal tujuan.

Kalau Mimpi Sudah Nyata, Terus Mau Apa...

Tiga bulan lamanya, aku hanya memiliki satu mimpi. Aku hanya memimpikan satu hal, hanya satu, dan aku berusaha merengkuhnya untuk menjadi kenyataan. Kini, mimpi itu sudah nyata dan aku mulai bertanya, kalau mimpi sudah nyata, terus mau apa?
Aku berpikir bahwa hidup itu dibangun dari mimpi-mimpi. Kata orang gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Kalau cita-cita itu bagian dari mimpi hidup, maka tak salah kiranya jika kita mimpi untuk menjadi yang terbaik bagi diri kita sendiri. Bahkan, kemarin dulu aku pernah dengar Tukul Arwana bilang kalau mimpi itu yang tinggi sekalian, nanti kalau tidak tercapai masih lumayan baik daripada mimpi yang rendah nanti kalau tidak tercapai, bisa tidak berarti apa-apa.
Mimpi, katanya hanya ada dalam dunia tidur saja. Tapi aku pikir mimpi ada juga di dalam dunia nyata, ya seperti aku bilang tadi, hidup itu dibangun dari mimpi-mimpi. Bagiku hidup tanpa mimpi artinya hidup tanpa nafas. Ada istilah dalam agama bahwa “urip kuwi mampir ngombe” (hidup itu datang sebentar untuk minum) karena nanti ada dunia yang lebih kekal lagi. Jujur saja, aku kurang sepaham dengan pendapat “urip kuwi mampir ngombe”, aku tidak ingin hidup hanya sekedarnya minum, tapi aku ingin mengejar banyak hal tidak hanya minum, tapi juga makan, main dll. Ambisius? Mungkin juga, tapi aku pikir hidup tanpa ambisi, hidup tanpa hati. Ambisiku harus berjalan dengan hatiku, ambisi tanpa hati bisa jadi hanya kekonyolan hidup. Dan aku hanya berambisi aku hidup menjadi diriku sendiri, aku adalah aku.
Kini, mimpiku sudah nyata, terus mau apa? Aku pikir aku harus mengejar mimpi yang lebih tinggi dan besar lagi. Bukankah kalian sudah tahu tadi kalau aku penuh ambisi dan tentunya aku tidak hanya ingin hidup dengan slogan “urip kuwi mampir ngombe”.

NB. Bung Kriwil lagi sibuk jualan Es Cendol karena banyak orang yang datang ke warungnya untuk mampir ngombe.

Tuesday, March 13, 2007

Aku Ingin Bicara Kenangan (2)

Ada kenangan, aku ingin mengenangmu
Aku terkenangmu oh…mimpiku
Dalam mimpi aku terkenang
Aku selalu mengenangmu

Aku tersenyum dalam kenangan
Aku bersedih untuk kenangan
Aku bermimpi demi kenangan
Aku meratapimu…oh kenanganku

Bayang-bayang selalu terbayang
Mimpi-mimpi terbawa mimpi
Harapan-harapan menjelma kenyataan
Kenangan-kenangan…aku selalu mengenangmu

Tak kulupa kenanganku
Tak kulepas kenanganku
Aku masih ingin merengkuhmu
Oh kenanganku…

Aku pergi untuk kenangan
Aku terbang demi kenangan
Aku bermimpi untuk kenangan
Aku mengenang mimpi-mimpi
Demi kenyataan aku mengenangmu
Oh kenanganku…

NB. Bung Kriwil no coment dulu ach...

Aku Ingin Bicara Kenangan

Terbuat dari apakah kenangan? Aku tak pernah bisa mengerti, mengapa pemandangan itu selalu kembali dan kembali lagi, tulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam Cerpennya Kyoto Monogatari. Belum lama memang aku membaca Cerpen itu. Masih hangat di pikiranku tentang Cerpen itu dan aku jadi sering berpikir tentang kenangan yang kadang timbul tenggelam dalam kehidupanku.
Kadang-kadang gambaran masa lalu yang terekam, tiba-tiba saja muncul tanpa diminta dan saat itulah pikiranku melayang soal kenangan. Ah, masa lalu memang telah lewat bukan, tapi kenangan yang semua terekam tak pernah mati seperti katanya The Upstair, bukan?
Memang tak semua kenangan muncul dipikiranku akhir-akhir ini karena banyak kenangan yang terekam dengan huruf tebal dan tidak sedikit juga kenangan yang tulisannya kecil-kecil dan tak jelas. Tak bisa aku pungkiri, ada kenangan yang begitu dalam menusuk tulang hingga menembus sungsum-sungsumku. Namun ada juga kenangan yang hanya berbekas di pori-pori kulitku alias mudah terhapus oleh segala macam sapuan hidup.
Namun, kenangan yang muncul akhir-akhir ini semuanya memiliki tema yang sama: kuliah. Aku tak tau mengapa aku mengenang masa kuliah yang begitu bergairah, atau karena aku akan segera meninggalkan dunia itu? Memang aku kini masih kuliah, namun jika tidak ada aral merintang tinggal dalam hitungan hari aku segera pergi meninggalkan dunia itu. Dan kehidupanku selama lima tahun terakhir ini yang timbul tenggelam dalam pikiranku akhir-akhir ini? Ah, betapa cepatnya waktu berjalan.
Kyoto Monogatarinya SGA yang mengenang perempuan di tengah badai salju yang hebat, membawa aku dalam kenanganku lima tahun lalu saat kali pertama memasuki kuliah. Saat lembaran koran lokal Jogja mengabarkan padaku bahwa aku gagal memasuki universitas negeri terkemuka di Jogja. Waktu lembaran koran itu juga yang menjadi petunjuk bahwa aku diterima universitas swasta di Jogja.
Komunikasi, itulah jurusan yang dulu sempat menjadi mimpi, dan lima tahun yang lalu sudah ada di hadapan mata. Masih membekas dalam pikiran saat segepok uang rupiah aku serahkan sebagai tanda pembayaran awal. Masih bisa aku ingat dengan begitu jelasnya bola-bola pingpong terikat di kakiku, celana hitam, kaos oblong putih yang pada akhirnya nanti penuh dengan coretan sebagai tanda perpisahan dan juga topi berbentuk kerucut yang selalu aku kenakan saat Ospek. Teringat juga muntahan kata-kata yang memekakkan telinga, kadang menyebalkan kadang lucu dan kadang terkesan dibuat-buat dalam Ospek yang sebenarnya malas aku ikuti.
SGA memiliki kenangan saat perempuan itu tertatih-tatih berjalan di badai salju, aku terkenang saat kuliah pertama yang bernama dasar-dasar logika digelar hari Senin jam tiga sore. Namun sayang aku lupa tanggal pastinya, namun aku ingat pasti hari dan jamnya. Aku ingat pula saat mulai berkenalan denga tiga orang yang hingga akhir kuliah menjadi kawan seperjuangan.
Aku tersenyum sendiri saat menuliskan kenanganku ini, aku ingat awal-awal kuliah begitu culunnya aku dengan kehidupan baruku itu. Ah, tapi tak apa, aku bangga dengan diriku saat itu. Ya, aku bangga sebagai mahasiswa yang saat itu biasa-biasa saja, tidak terkenal, tidak juga terasing atau singkatnya standar dan biasa-biasa saja. Hingga saat ini aku menjelang akhir kuliah, aku merasa aku adalah mahasiswa yang biasa-biasa saja. Bukan aktivis yang berjuang mulia, tidak terkenal karena kaya ataupun muka, tidak juga mahasiswa yang mengikuti tren terbaru dalam berpakaian, bukan juga mahasiswa yang hanya kuliah terus pulang. Aku merasa biasa dengan diriku yang menjadi mahasiswa biasa.
Tak ada yang tahu kenapa perempuan itu meninggalkan rumah dan menghadapi badai salju, tulis SGA. Tak ada yang tahu kenapa tahun kedua kuliah aku memilih menepi dan menyepi di tengah buku-buku yang saat itu agak terkesan lucu. Sampai saat inipun aku tak habis pikir, kenapa tiba-tiba gairah membaca dan menulisku begitu meledak-ledak dam membawa aku dalam sebuah dunia baru, membaca…membaca…dan membaca, baru kemudian beberapa waktu aku belajar menulis. Ah, Seno Gumira, aku jadi ingat Kitab Omong Kosongmu saat Satya berbicara dengan Maneka bahwa membaca tidak hanya membaca tulisan tapi juga kehidupan dari dari membaca kita bisa menulis. Buku yang katanya sastra, politik, sosial hingga yang katanya lagi agak filsafat menjadi teman setiaku sejak empat tahun terakhir hingga saat ini.
Cinta, itulah kata yang baru aku kenal setelah dua setengah tahun menjalani kuliah. Atas nama cinta itu pula, tak hanya hatiku dan hatinya berpadu, tapi juga tubuh kami menyatu. Kamu percaya itu atas nama cinta? Aku tak tahu hingga sekarang, yang aku tahu, tubuh kami menyatu karena kami sama-sama mau. Atas dasar cinta? Aku tak tahu, atau itu hanya nafsu belaka, aku juga tak tahu.
Tiga tahun berjalan begitu cepatnya serasa aku baru meninggalkan halte bus yang tak terlalu jauh. Banyak kenangan yang teringat banyak juga yang terlupa dan aku tidak tahu terbuat dari apa kenangan itu, seperti kata SGA. Kenangan kadang juga membingungkan saat kehidupan sepertinya berubah atau berbalik begitu saja dan aku menyadarinya saat aku kuliah sambil bekerja atau saat itu mungkin lebih tepatnya bekerja sambil kuliah.
Wartawan magang itulah pekerjaanku yang baru, selain menjadi mahasiswa kalau status mahasiswa dapat disebut sebagai pekerjaan. Dulu saat aku SMA, pingin jadi wartawan dan satu tahun yang lalu, wartawan bukan lagi impian tapi sebuah kenyataan. Banyak kenangan yang bisa terucap dan tidak bisa terucap, melihat pelaku kriminal dari dekat, melihat aksi polisi yang katanya memberantas kejahatan, melihat penangkapan orang yang katanya teroris, melihat muramnya wajah petani saat harga pupuk melambung tinggi, melihat pelaku korupsi dilepaskan, melihat warga di lereng Merapi yang harus mengungsi, melihat sebagian warga Klaten yang terhempas gempa. Aku tidak ingin sekedar melihat, aku juga selalu berusaha merasakannya.
Kehidupan seperti juga kenangan, kadang berbalik begitu saja, tanpa tahu mengapa itu semua terjadi. Setahun menjadi wartawan magang, aku harus melepaskan itu semuanya dan kembali ke status asliku mahasiswa. Aku sedih, namun juga bahagia. Aku sedih karena harus meninggalkan dunia yang dulu menjadi mimpiku. Aku bahagia karena aku telah merasakan mimpiku.
Kini, kenangan seakan begitu dekat dan nyata bagiku. Bayang-bayang itu tak terhapus dan tak terlupa. Aku segera meninggalkan dunia mahasiswa yang aku cinta. Aku sedih dan ingin merengkuhnya kembali. Aku tahu, selepas ini aku harus melanjutkan mimpiku lagi dan menceritakannya untuk kalian semua. Perempuan itu berjalan di dataran salju meninggalkan jejak yang panjang tulis SGA. Aku berjalan selama lima tahun terakhir ini dan meninggalkan jejak yang tak kalah panjangnya.

NB. Bung Kriwil menilai kenangan tak tersentuh, tapi selalu terasa.