Sang Pemula

Thursday, September 28, 2006

NAWAITU...

"Nawaitumu kau kemanain bos...Nyante bianget. OK deh, tks ya...," kata seorang kawan yang lewat sebuah SMS, ba'da Isya beberapa hari yang lalu. Pesan itu meluncur ke dalam Ponsel baruku, setelah kawanku ini basa-basi menanyakan apakah aku sudah selesai ato pulang dari Shalat Tarawih karena sebenarnya, kawanku yang berkerja untuk sebuah radion Jakarta ini menanyakan mengenai agenda liputan esok hari.
Sebenarnya paling tidak aku dan kawanku udah berSMS ria sekitar tiga kali. Awalnya kawanku SMS, "Malam bos...Wis rampung drg tarawehane?Klaten lg fokus apa? Ak suwe ra liputan je.. ".
Lansung aku balas, "Ora taraweh je he..lg bc buku+tdran..klaten landai, klo ak bsk renc.angkat kekeringan&p2kp..plus cek2 lap...he..".
Kawanku balas lagi yang isinya seperti ini, "Kok ra tarawehan,piye tho bos..Opo nggonmu adoh mesjid?Nek ngono tarawehan dw wae no...Ntar kl ada lipt oks, ak d jak yo...Ak lg fokus d solo".
"Ibadah bkn soal jauh dekat kyk angkot, tp soal niat,lha niat itu yg susyah he..otre klo ad apa2 tak kbri, sidang kasus kuncen bsk kmis!," balasku.
Dan akhirnya, kawanku ini membalas SMS seperti yang ada diawal tulisan ini! Sebenarnya, saat aku jawab ibadah bukan soal jauh dekat, itu aku juga asal jawab aja. Dan keget ketika kawanku ini SMS dan ngomongin NAWAITU.
Pas, kata itu ada di dalam otak dan pikiranku, aku jadi bertanya-tanya, aku sebenernya niat nggak seh ngejalanin puasa? Ak ndiri juga nggak ngerti? Tapi, klo kawanku itu tau bahwa dari lima hari puasa, ak udah bolong satu hari, bisa keget! "Woy..mana nawaitumu..Kemanain tu niat, gile udah gede, nggak ada tobat2nya," mungkin dia akan SMS seperti itu. Soal alasan kanapa aku bolong, nggak aja deh, nanti dikira masih kanak-kanak!
Tapi ngomongin soal nawaitu lebih dalam, aku sebenarnya berpikir lebih jauh lagi, apa puasa hanya nawaitu saja? Tentu tidak! Tapi emang harus diakui nawaitu memang bagian terbesar yang mempengaruhi sukses tidaknya puasa! Tapi juga, bagi aku, manusia yang imannya tak menentu, bahkan sering hilang, nawaitu hanya bagiannya saja. Hal lainnya adalah kondisi.
Ngomongin soal kondisi dan niat, sekarang pada jujur aja, nggak usah muna yang muna anjing, kalian semua niat nggak ngejalanin puasa! Ato malah kalian merasa puasa hanya menjadi sebuah rutinitas belaka yang kedatangannya selalu ada tiap tahunnya!Tanpa spesial penyambutannya! Klo ak jujur aja, puasa kini hanya sebuah rutinitas belaka, nothing spesial!
Aku merasa ini menjadi sebuah rutinitas, saat semuanya sejak jaman aku SD belajar puasa hingga SMP saat suka nyuri-nyuri makan di pasar sehabis pulang sampe SMA saat puasa selalu tutup 30 hari tanpa bolong dan akhirnya kini puasa hanya rutinitas saja karena tak ada yang baru bagi aku.
Boleh aku dibilang belum dapat barokah, tapi saat kondisi yang ada juga tidak baru mana ada yang bakal dapat barokah. Coba aku tanya kalian, dari jaman SD nyampe sekarang kalian merasakan ada hal yang baru dala puasa nggak! Bukan soal ibadahnya, klo itu udah aturan dari Sono..Tapi misalnya saja, juru ngaji atau tukang ceramahnya memberi sentuhan baru! Seingatku, sejak jaman SD hingga bongkotan gini, setiap puasa yang diomongkan itu2 saja!
Aku jadi ingat, satu atau dua hari seorang kawan di FS membuat Bulletin Board yang judulnya Puasa Yok Puasa! Yg isinya kurang lebih spt ini, "Puasa diambang pintu, lebaran masih masih 30hrlagi, sabar ye.. nahan2 hawa napsu di bulan puasa. Napsu buat makan, minum, nyium, etc".
Dari tulisan itu, aku merasa puasa udah kehilangan esensinya, karena puasa berarti nahan napsu dan sabar ye lebaran masih 30 hr lg! Jadi sebenarnya pentingan puasa ato lebarannya seh...Who Know???
Akhir kata, Hai orang-orang yang membaca tulisan ini, jangan dianggap serius ya, jangan hanya tulis dan baca soal puasa aja, jalanin perintahnya! Semoga! Dan jangan pikirin lebarannya! Itu hanya hasil, kalau prosesnya O, semuanya Tai Kucing saja!

Friday, September 22, 2006

SAMPAH KEHIDUPAN

Aku merasa seberuk-buruknya manusia adalah manusia yang tidak mengerti, merasa dan sadar diri terhadap deru kehidupannnya sendiri. Hidupnya yang mengalir tidak dia sadari dan pahami sendiri. Setiap jejak langkah dalam arus kehidupannya, tidak dia pahami dan tidak ada makna dalam hidupnya.
Tanpa ada prinsip, tanpa ada pegangan, tanpa ada arti, tanpa ada rasa dan tanpa ada deru. Bagiku, mereka hanyalah SAMPAH KEHIDUPAN.
Sebusuk-busuknya sampah kehidupan adalah mereka yang katanya memiliki kesadaran diri tinggi, berilmu dan mengetahui cakrawala dunia. Tapi ternyata tak ada prinsip, tak ada pegangan, tak ada arti dan tak ada deru. Seperti sampah yang mengalir di sungai, Tak ada kesan kehidupan yang bisa diberikannya.
Mahasiswa misalnya. Banyak dikatakan mereka adalah manusia unggul, calon pemimpin bangsa, memiliki kesadaran diri tinggi, berilmu dan mengetahui cakrawala dunia. Tapi aku merasa sebagian besar dari mereka kini hanyalah seonggok daging yang bau busuknya sangat menyengat.
Bau busuk sampah yang timbul dari diri mahasiswa lebih busuk dari bau busuk jenis manusia apapun yang ada di muka bumi ini. Karena apa yang menjadi ciri mahasiswa dengan kenyataan yang ada bagaikan langit tingkat tujuh dan perut bumi jaraknya.
Ah, bau busuk sampah itu sangat menyengat hidungku. ANJING SEMUANYA!!!

Kamar kosku saat aku terbangun dari tidur karena musik-musik yang memekakkan telinga! 02.04 WIB, 9 September.

Wednesday, September 13, 2006

MENGAPA?

Aku tidak pernah mengerti mengapa orang sering tidak sadar dengan perilakunya sendiri. Bukannya aku ingin mengatakan, kalau aku sadar atas semua perilaku dan tahu tentang semua yang ada dalam kehidupanku.
Bakan itu maksudku. Maksudku adalah paling tidak, aku sebagai seorang manusia yang memiliki pikiran untuk berpikir mencoba memahami mengapa aku berperilaku sesuatu. Dengan mencoba memahami mengapa aku berperilaku sesuatu, paling tidak, aku sadar dengan apa yang aku lakukan. Entah itu perilaku baik atau perilaku buruk. Toh, baik buruknya perilaku tergantung dari sudut pandang kita melihatnya.
Aku sering merasakan, orang-orang di sekelilingku banyak yang belum sadar dengan perilaku yang diperbuatnya. Bahkan, kawan-kawanku yang menyandang status mahasiswa dan katanya kaum terpelajar, masih banyak yang belum sadar dengan perilaku yang dilakoninya.
Buktinya, saat aku tanya, mengapa dia melakukan suatu perilaku, lebih banyak jawaban yang mengalir ke diriku kata tidak tahu mengapa dia berperilaku seperti itu. Aku tidak paham dengan ilmu psikologi yang berbicara soal apakah setiap perilaku itu pelu ada alasan yang melatarbelakanginya atau tidak.
Namun, bagi aku, harus ada alasan yang melandasi setiap perilaku manusia, apalagi seorang yang katanya kaum terpelajar. Terutama perilaku yang berkaitan dengan soal yang rasional dan pikiran. Kalau perilaku yang berdasarkan atas perasaan, sedikit banyak aku masih bisa memaklumi. Walaupun kadang perasan masih bisa menipu.
Tapi kalau yang menyangkut hal-hal yang rasional atau pikiran, misalnya saja aku menilai banyak mahasiswa yang tumpul pikirannya. Tumpul karena tidak pernah diasah.
Aku pernah bertanya, mengapa kamu kuliah? Mengapa kamu jarang baca buku, koran atau nonton berita? Mengapa kamu dugem? Mengapa kamu malas kuliah? Mengapa kamu jarang ke perpustakaan? Mengapa kamu sering lupa tanggungjawab diri?
Dan jawabanya secara umum, tidak mencerminkan kaum terpelajar. Aku kuliah karena ingin nilainya baik dan saat itu ilmu dilupakan. Aku jarang baca buku, koran atau nonton berita karena aku tidak suka dan saat itu perasaan berbicara. Bukakah perasaan kadang bisa menipu. Aku dugem karena aku ingin diakui, ingin tidak ketinggalan jaman, dan ada yang lebih parah lagi, aku dugem karena ikut teman-teman dan saat itu dimanakah kepribadian diri seseorang. Aku malas kuliah karena aku malas saja dan saat itu aku jadi bingung harus berkata apa. Aku sering lupa tanggungjawab diri karena manusia adalah tempatnya dosa dan lupa dan saat itu aku tahu kitab suci sering dimanfaatkan untuk pembenaran diri.
Aku hanya merasa, manusia utamanya kaum terpelajar jika dia tidak menyadari mengapa dia melakukan suatu perilaku, entah baik, entah buruk, aku merasa dia telah menyianyiakan pikiran yang dimilikinya. Ah, sungguh sayang sekaliā€¦

Kamar kos, saat beberapa waktu setelah aku terbangun dari tidur, 02.48 WIB, 9 September

Tuesday, September 05, 2006

Pemanggilan

Di hadapan layar monitor komputer, Sang Pemula (SP) masih sibuk memainkan jari-jarinya di keyboard yang sudah mulai hilang huruf-hurufnya. Beberapa huruf yang mengalami salah ketik dicek semuanya dan akhirnya semuanya clear. "Ah, selesai juga akhirnya. Empat berita dalam waktu dua jam, lumayan cepat," pikir SP.
Tiba-tiba nada panggil dari HP berbunyi. Di layar HP yang berwarna gradasi hitam putih keluar angka dengan kode area 0271. "Pasti bos, paling listing," pikir SP yang kerja jadi jurnalis di sebuah media lokal. "Bantuan rumah darurat, lintas praja, bantuan Cuba Rp 15 miliar dan vaksinasi antitetaus, bos," kata SP kepada bosnya.
"Sip, lintasnya udah kan. Iya tadi ada pesen, nanti setelah kirim selesai, kamu ke kantor ya, Redpel nyari kamu. Katanya ada yang perlu diomongkan," sahut bosnya SP.
SP langsung jawab iya-iya dan komunikasi jarak jauh dengan media telepon seluler terputus sudah. SP mulai bingung, ada apa, kok tumbel Redpel memanggil. Jangan-jangan ada masalah dengan kinerjaku. SP langsung ingat pesan Redpel beberapa bulan yang lalu saat teman satu angkatan di tempat dia bekerja keluar. "Komunikasikan segala sesuatu. Kalau ada apa-apa datang ke tempat saya. Daripada saya panggil berarti ada apa-apa yang harus saya bicarakan," kata Redpel waktu itu.
"Ah, pemanggilan itu akhirnya datang juga. Tapi apa masalahnya. Aku pikir selama ini kinerjaku oke-oke aja. Bosku juga tidak ada komplain. Bahkan belum lama ini aku terima bonus dari kantor karena kinerjaku masuk kategori sangat baik sekali," pikir SP.
Sembilan bulan sudah SP meniti karier menjadi seorang jurnalis dan kini sebuah pemanggilan datang kepada dirinya. Bagi, SP pemanggilan ini bukanlah hal yang biasa-biasa saja, karena tidak mungkin seorang Redpel memanggil wartawan jika tidak ada urusan yang penting. Kalau redaktur atau redaktur muda memanggil wartawannya untuk koordinasi atau evaluasi atau bertukar pikiran soal berita itu baru hal yang wajar. Selain itu, selama ini SP tinggal di luar kota dan selalu mengirimkan berita lewat email jadi pemanggilan seorang diri seorang Redpel merupakan suatu hal yang luar biasa baginya.
Lamunan SP soal pemanggilan langsung buyar saat teman satu kosnya bertanya dari luar. "Sang, belum kirim tho, udah jam 1/2 4 lho," kata teman kosnya SP.
Teriakan itu langsung membawa SP dalam sebuah kesibukan sesaat, mengcopy berita dan foto ke flashdisk, mengambil kaos dan celana dalam untuk ganti. "Siapa tahu nanti aku sampai malam dan aku harus menginap di sana, bawa ganti sekalian," pikir SP.
Ketika semuanya sudah beres, SP langsung membawa lari sepeda motor bututnya ke arah warnet langganannya. Tas pungung yang sehari-hari dibawa semakin terasa lebih berat saat pakaian ganti hingga peralatan mandi dan kosmetik memenuhi tas punggung merk The North Face SP. Belum lagi, barang bawaan yang merupakan senjata kerjanya dari blocknote, peta hingga air mineral. Satu tas lainnya juga melingkar di tubuh SP, tas ini juga selalu ada saat SP pergi kemana saja, tas yang berisi kamera digital yang dibeli dari gaji kerja selama beberapa bulan.
Pengiriman berita via email berakhir sudah dan tanpa banyak kendala SP langsung hanyut di atas sepeda motornya ke arah utara tempat kosnya dan menuju kantor kerjanya yang berjarah sekitar 70 Km dari kosnya. Tak ada yang spesial selama perjalanan itu, namun SP tidak memacu kencang kendaraannya. Tidak seperti SP saat kejar-kejaran untuk mengejar sebuah fakta. Perjalanan yang biasanya dapat ditempuh satu jam, jadi molor hingga satu setengah jam karena laju kendaraan hanya berjalan sekitar 50-60/km/jam. Belum lagi ramainya jalan sore itu membuat SP seakan melakukan perjalanan jauh.
Setelah pantat SP terasa panas dan punggung pegal-pegal karena melakukan perjalanan yang lumayan jauh, papan nama media tempat SP kerja akhirnya sudah di depan mata. Tidak ingin langsung masuk kantor, SP menghentikan kendaraanya di sebuah angkringan di depan kantor tiga lantai tersebut. "Makan dulu aja, dari tadi pagi aku belum makan, toh jika aku sudah masuk pasti makananya jadi telat," pikir SP.
Tiga bungkus nasi angkring, satu tusuk sate ati, dua gorengan ditambah segelas jeruk panas sudah memenuhi rongga-rongga perut SP yang kosong sedari tadi. Rokok kesukaan SP, Djarum Super yang dibeli batangan kini sudah dalam genggaman. "Tak perlu tergesa-gesa, paling dia baru mau ditemu setelah rapat jam 1/2 7 malam," pikir SP.
Sambil menghisap rokok dalam-dalam SP membayar makanan yang kini telah bercampur aduk di dalam lambungnya dan sedang disemprot berbagai enzim di tempat itu. "Rp4.000 aja Mas. Murah tho," kata penjual angkringan. "Murah kok pak. Makanya saya beli di warung Anda. Kalau mahal, saya pasti tidak akan ke sini," jawab SP di dalam hati.
Beduk magrib telah berlalu beberapa waktu yang lalu dan saat ini SP sudah berada di lantai tiga gedung kantor tempatnya bekerja. Dulu, ketika SP tiap hari ngantor, dirinya tidak pernah meninggalkan ritual sucinya dengan merokok di balkon lantai tiga kantor ini. Dalam setengah jam saja, tiga batang rokok sudah habis dan kini rokok ke empat sudah ditangannya. Namun, niat itu diurungkan karena jam sudah menunjukkan pukul 7 dan kemungkinan rapat malam telah usah.
Dan benar saja. saat SP masuk kantor redaksi di lantai dua, Sang Redpel tengah melihat beberapa layout koran untuk besok pagi. Begitu muka SP muncul, Redpel langsung mengajaknya ke kantor. Detak jantung semakin mendebarkan. "Jangan...jangan...berakhir sudah karierku di sini," kata-kata itulah yang selalu mengelayuti pikiran.
Tanpa basa-basi, Redpel langsung ke inti masalah. "Saya dapat kabar kalau kuliahmu belum selesai-selesai. Padahal, kamu sudah ditugaskan di daerah yang dekat kampusmu," tanya dia. "Ah, rupanya soal kuliah," jawab SP dalam hati. Benar saja, udah 9 bulan terakhir kata-kata kuliah, kampus, skripsi hilang dalam pikiran SP. Yang ada adalah news, isu, liputan, wawancara, deadline hingga listing. "Iya, tapi saya usahakan Desember besok lulus," jawab SP dengan sedikit gentar. Dia mengatakan hal tersebut dengan agak ragu-ragu. "Duh, mampu nggak ya, aku lulus Desember mendatang," pikirnya.
"Udah itu saja yang saya tanyakan, jangan sampai kamu lupa kuliah. Kerja lancar dan kuliah juga selesai. Kami juga punya tanggungjawab untuk itu," kata dia.
"Terima kasih," jawab SP sambil meninggalkan ruangan Redpel.
Aduh, masalah kuliah...kuliah dan kuliah. "Ah aku lelah sekali hari ini. Tubuh dan pikiranku ingin cepat istirahat," pikir SP sambil meninggalkan kantor tempatnya bekerja.