Sang Pemula

Friday, December 22, 2006

Akhir-Awal

Ketika suatu babak kehidupan berakhir, kadang kita tercegang meratapi hidup dan bingung memulai hal yang baru. Ketika hal itu terjadi, akhir telah berada di balik punggung kita dan sebuah awal berada di hadapan mata.
Akhir yang indah belum tentu menghasilkan awal yang baik. Ataupun akhir yang buruk tidak tentu menjelma menjadi awal yang menyakitkan. Kadang semuanya bejalan sesuai ritme kehidupan kita yang tidak pernah serba menentu. Bisa saja, salah satu sisi kehidupan percintaan kita berakhir dengan tragis, tetapi sisi kehidupan berikutnya bukan tidak mungkin akan indah. Bisa saja, kita meninggalkan sisi kehidupan pekerjaan dengan gilang gemilang, tetapi roda kehidupan berikutnya belum tentu sama. Itulah manusia dengan kehidupannya.
Kita sering kali sedih saat menuju akhir. Dan kita biasa resah saat menuju awal. Dan akhir menuju awal pasti selalu terjadi, tidak hanya sekali dalam kehidupan kita, berulang-ulang dan kadang selalu sama. Saat di atas kita tertawa dan saat di bawah kita menderita. Tapi itu katanya kehidupan manusia, seperti putaran roda. Yeah.
Semuanya memang seperti ada kontrolnya dalam putaran roda. Tapi bukankah kita punya kuasa menjaga ritmenya? Dan akhirnya semua berpaling kepada kita. Akhir menuju Awal? bingung.

NB. Bung Kriwil bingung bikin skripsi, kejar tayang tiga bulan harus kelar. Cuapek dech...!!!

Wednesday, December 13, 2006

Living Work Journalism!

Setahun sudah sebuah bayang-bayang impian menjadi realitas kehidupan. Setahun sudah angan-angan pikiran menjelma putaran roda kenyataan. Setahun sudah sebuah harapan tak berujung pada angin kosong. Dan setahun sudah sebuah deru kehidupan terasa nyata dan bukan meredupnya sebuah impian…
Kini, putaran roda seakan berhenti sejenak untuk rehat. Deru kehidupan seakan lelah setelah menguras hati dan pikiran dan mencoba istirahat. Kini, berakhir sudah dan sudah berakhir...
Terlalu, terlalu banyak kesan yang ditinggalkan. Terlalu, terlalu banyak kebahagiaan yang ditertawakan. Terlalu, terlalu banyak kesedihan yang ditangisi. Dan terlalu, terlalu banyak pengalaman yang bisa membuka hati dan pikiran. Semuanya harus ditinggalkan, kini…
Setahun bukan waktu yang lama dan aku masih belum apa-apa dan bukan siapa-siapa. Aku masih belum berbuat apa-apa dan belum mengerti apa-apa. Aku masih belajar dan belum sebesar mereka pahlawanku. Namun, aku pernah mencoba untuk mengarungi, belajar mengerti, memahami dan merasakan duniaku yang harus ku tinggalkan, kini…
Aku memang belum apa-apa dan bukan siapa-siapa. Aku hanya belajar menjadi saksi dunia. Aku hanya ingin mengerti realitas kehidupan manusia. Aku hanya ingin memahami putaran roda hidup. Aku hanya ingin merasakan manis dan pahitnya buah kehidupan kalian semua, wahai umat manusia. Dan aku memang belum apa-apa dan bukan siapa-siapa harus rela meninggalkan semuanya, kini…
Setahun memang bukan waktu yang lama. Namun aku telah merangkum dalam hati dan pikiranku semuanya rekaman hidup. Aku telah ingat setiap detail-detail realitas kehidupan manusia yang mampu aku lihat. Aku telah simpan semua pahit getirnya buah kehidupan manusia yang mampu aku rasakan. Aku telah renungkan baik buruknya, bersih kotornya, hati, pikiran dan perilaku kalian umat manusia yang pernah aku ketahui. Dan, berakhir sudah dan sudah berakhir, kini. Aku masih simpan kalian semuanya, tidak hanya dalam buku harian, tapi dalam hati dan pikiran.Aku harus pergi, kini…
Namun, aku masih ingin kembali, esok…
Semoga…
Living Work Journalism!

Terimakasih buat:Ibu, bapak (alm), Pak Cip dan keluarga besarku; My Boss & guruku, Mas Yan, Mas Ono, Gotrex, Mas Anton, Mas Faul, Mba Rina, Mas Warmin, Mas Dawet, Mas Farid, Mba Ike; My Partner In Crime, Ari Mboth, Kyo, Indah, Yuzmey, Harsi, Ristian, Tri Rahayu, Nur Hid, Purwadi, Bayu; My partner in desk, Mba Ida, Mba Nad, Mba Wulan dan Mas Abn; Kawan-kawan seperjuangan, Mas Iik, Mba Rani, Mba Cristi, Mba Eni, Burhan, Pak Yoyok dan semua wartawan tempat aku bekerja; Kawan-kawan di “pengasingan”, Mba Nanik, Bahana, Mba Sonya, Bang Rois, Mba Wiwik, Mbah Roso, Bang Udin, Icaz, Pak San, Paklik Anjar, Mba Sri; Anak Padepokan Djojo Moeljo, Sukron, Pele, Weda, Dirjo, Rio, Asep, Kang Benok, Weduz, Sopari, Maz Rahman, Pak Loso, Bom-bom; Kawan di kampusku, Cah-cah B’jat, Dapur Ngebul, SIKAP, Fotkom 401 dan juga dosennya juga sekalian; Kawan satu pikiran, Fian BL, Arga, Fredi, Kebo HC, Hanton; My Jagoan, Tan Malaka, Pram, T.A.S., Slank, Ipang dan juga Djarum Super, Kofimik, Sarang Kupu-Kupu, Garden Net, my book dan kalian semua manusia, barang dan kejadian yang telah membentuk aku seperti itu, tengkyu dah!

NB. Bung Kriwil, lagi malas komentar, katanya lagi sibuk bikin skripsi. Haa..haa…

Tuesday, December 05, 2006

Menuju Akhir

Mendung akhirnya membawa hujan
Sungai-sungai memeluk derasnya air
Lautan menyambut deru sungai
Dan, hukum alam berbicara

Di manakah diriku kini berada...

Matahari hilang di pelupuk mata
Rembulan datang sebagai saksi indahnya dunia
Bintang bersinar tertawa pada manusia
Dan, Sang Fajar masih berwarna kuning

Di manakah diriku kini berada...

Awal sudah merengkuhku dari dulu
Dari tepian kini aku menuju derunya kehidupan
Titik tolak kehidupan hilang dari hadapan
Dan, kini aku menuju akhir

Selamat tinggal Awal, selamat datang Akhir...

NB. Bung Kriwil mau baca puisi di Bentara Budaya. Katanya sekarang dia lagi hobby bikin puisi dan ingin menunjukkannya di hadapan kritikus haa...haa...

Sunday, December 03, 2006

Rak Buku & Almari Pakaian Dibungkus dalam Sesatnya Keinginan-Kebutuhan

Pernah suatu hari saya berpikir antara keinginan dan kebutuhan hidup. Kadang saya merasa banyak keinginan hidup yang belum tercapai. Dan kadang pula, banyak kebutuhan hidup yang harus juga dicukupi agar dunia terasa indah.
Menurut saya, banyak keinginan yang timbul karena kebutuhan dan tidak sedikit kebutuhan muncul karena keinginan. Dan saya harus memilih salah satu di antaranya, keinginan karena kebutuhan atau kebutuhan karena keinginan. Maklumlah, saya termasuk manusia biasa dan tidak bisa mengumbar setiap keinginan dan kebutuhan saya begitu saja.
Nah, jika saya memenuhi setiap keinginan karena kebutuhan, saya rasa tidak pas juga dalam dunia yang ada saat ini. Dunia yang ada saat ini begitu pintarnya menciptakan kebutuhan yang sebenarnya bukan kebutuhan menjadi sebuah kebutuhan yang layak dan harus dikonsumsi. (Anjing kau kapitalis busuk!!!)
Atau jika saya mengumbar kebutuhan karena keinginan juga tidak mungkin. Kata banyak orang, keinginan manusia tiada batasnya dan saya percaya saja, jadi nggak aja kayaknya saya memenuhi setiap kebutuhan karena keinginan.
Ketika tiada pilihan bagi saya, saya memutuskan masalah kebutuhan dan keinginan ini dari takaran dan sudut pandang, mana yang baik bagi saya. Memang sangat subjektif, namun mungkin itu yang terbaik.
Pernah saya merasa membutuhkan banyak barang karena kesibukan dan aktivitas saya, namun saya sadari itu semua hanya godaan setan kapital yang gemar beriklan. Pernah juga saya ingin memborong banyak barang karena saya menginginkannya, namun saya ingat jika saya menginginkan itu semua, maka keinginan saya tiada habisnya.
Banyak barang yang saya konsumsi (beli) jika dilihat dari sudut pandang kebutuhan dan keinginan. Buku, misalnya, semua buku yang saya beli dasari rasa “ini baik untuk saya” walaupun sebenarnya saya merasa itu adalah kebutuhan saya sebagai manusia. Pakaian contohnya, akhir-akhir ini semua pakaian saya beli karena keinginan, namun saya merasa itu “baik untuk saya”.
Walhasil, rak buku saya tidak muat menampung berbagai hal yang baik bagi saya. Dan begitu juga almari pakaian terasa semakin sesak penuh dengan hal-hal yang menurut saya baik. Tapi tak apalah, bukankah itu semua hanya berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan.
Dan saya masih percaya kadang kita ingin karena butuh dan kadang juga kita butuh karena ingin! Bagaimana dengan Anda?

NB. Bung Kriwil berani melawan pemerintah, katanya kebutuhan dasar manusia tidak hanya sandang, pangan dan papan, tapi ditambah buku. Hati-hati lho Bung, nanti dikira makar karena buku bisa mencerdaskan bangsa.

Friday, December 01, 2006

Sebuah Permufakatan

Melalui chatting sekitar 2 jam lamanya, aku dan kawanku bermufakat dan sepakat bahwa Hidup Itu Indah. Bak seperti anggota DPR saja, dari mulut kami berdua juga terucap kata setuju, terutama terhadap salah satu masalah mendasar yang sedang kami godok bersama yaitu, Undang-Undang Dasar (UUD) Kehidupan.
Berbagai permasalahan mendasar dan pasal-pasal krusial telah terpecahkan secara elegan. (Anjing, DPR banget!). Bahkan, jika anggota DPR studi banding ke luar negeri untuk menggodok satu UU, maka kami pun tak mau kalah, sebelum UUD Kehidupan digodok, sebuah film bertajuk Life Is Beautiful menjadi salah satu resensi kami.
Akhirnya, dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menanadatangani UUD Kehidupan ini. Tak ada ketua ataupun anggota, kami berdua hanya duduk bersama sebagai manusia. Dan layaknya sebuah konstitusi resmi, di bagian akhir UUD ini tercantum kata-kata “UUD ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.”
Kini, sebuah konstitusi telah mengikat antara aku dan kawanku ini, terutama sebuah pemikiran mengenai hidup, bahwa Hidup Ini Indah. Nah, tak ada gading yang tak retak (Nggak nyambung kayaknya). Masalah yang kemudian timbul adalah sejauh mana aturan atau konstitusi yang telah disepakati bersama ini dijalankan. Tentu kami tidak ingin gagal seperti layaknya perundingan antara pemerintah dan GAM dimasa silam (Maju terus Ajtehku, damai sepanjang masa). Atau kami juga ingin seperti Indonesia yang memiliki berbagai aturan soal pemberantasan korupsi tetapi pada kenyataanya korupsi masih menjadi denyut nadi kehidupan bangsa.
Bagi aku dan kawanku, UUD Kehidupan tidak hanya aturan tertulis saja karena itu kami selalu berusaha mentaati semua aturannya. Sebuah usaha keras teramat sangat dibutuhkan aku dan kawanku untuk mentaati aturan yang ada. Halangan, rintangan hingga cobaan hidup selalu menerpa manusia, termasuk aku dan kawanku dan saat itu ujian pelaksanaan UUD Kehidupan ini dibuktikan. Tapi, aku dan kawanku selalu dan akan terus selalu bertahan dan tetap akan bertahan dan membangun mimpi-mimpi indah dalam kehidupannya masing-masing. Karena kami akan selalu percaya, bahwa Hidup Itu Indah. Kini dan selamanya…

NB. Bung Kriwil sok jadi psikolog, “Jangan bunuh impian sebelum tumbuh dan ranum siap dipetik,” katanya. Bahkan, dengan sok puitis dia berani bilang, “Biarkan impianmu tumbuh dan berkembang bersama indahnya deru kehidupan.”