Sang Pemula

Tuesday, November 21, 2006

(Nggede) Bush!

Ada sebuah ungkapan bahasa Jawa yang berbunyi Nggedebus yang artinya bohong atau bisa juga diartikan omong doang (Omdo). Biasanya ungkapan ini diucapkan saat kita mendengar ucapan dari orang lain dan kita tidak mempercayainya.
Coba tanya, saudara2 kita di Bantul, soal janji pejabat yang berinisial JeKa soal bantuan korban gempa, pasti ada yang bilang "Ming Nggedebus tok." (hanya bohong saja). Atau tanya, Kang Sukri, pedagang siomay di Seturan yang dulu dijanjikan dapat bantuan modal usaha kecil. "Cangkeman tok, tukang nggedebus." (hanya mulut saja, tukang bohong). Bisa juga tanya sama, Ujang, lulusan Teknik Ekonomi Universitas terkemuka di Jogja yang lulus dengan IPK 3,9 soal janji pemerintah membuka lapangan pekerjaan. "Raja nggedebus kok dipercoyo." (raja bohong kok dipercaya).
Kata Nggedebus begitu familier bagi orang Jawa, sampai-sampai ada Warung Soto di Babarsari yang bertuliskan "Dijamin Enak Ora Nggedebus". Itulah ungkapan yang disampaikan orang Jawa untuk menyatakan rasa ketidakpercayaan terhadap seseorang atau sesuatu. Kata Nggedebus, adalah pilihan kata yang terbaik dan mudah diingat, selain tentunya sudah mengakar.
Yeah, sekarang kita ngomongin politik. Eit, jangan alergi dulu. Katanya, Presiden AS George W Bush yang datang ke Indonesia bakalan disantet Ki Gendeng Pamungkas karena dianggap mendholimi umat manusia. Dan ternyata, Bush sehat walafiat walaupun Bogor hujan deras dan petir menyambar-nyambar. Dan dengan kegagahannya, Bush pulang ke AS tanpa kurang suatu apapun.
Kita nggak perlu ngomongin ampuh tidaknya satetnya Ki Gendeng. Kita juga nggak butuh kabar soal demonstrasi besar2an di Bogor yang pasti akan segera meredup setelah Bush cabut dari Indonesia. Kita juga muak mendengar angka Rp 6 miliar soal pengamanan Bush. Apalagi, soal matinya Bogor saat Bush datang! Kata Nunung Srimulat, "Benci aku....benci aku."
Semua dampak sudah banyak diujarkan dan dibicarakan, tapi soal hasil kita ndak tahu. Bush datang ketemu SBY empat mata dan kita bertanya-tanya apa hasilnya? Bagi AS, nggak penting, yang penting bagi kita, rakyat jelata yang udah muak dengan segala Tai Kucing politik bangsa ini. Klo uang rakyat Rp 6 miliar dibuang begitu saja untuk Helipad, sewa alat2 keamanan hingga catering, maka apa hasilnya dari biaya yang udah kita keluarkan???
Sori bgt, saya itung2an banget, tapi wajar donk, karena kita Negara Pedagang Kapital yang semuanya didasarkan untung rugi. Coba dari pejabat yang jadi Wapres juga pedagang, ketua Parpol ada juga pedagang, menteri yang katanya punya saham di Lapindo Brantas juga pedagang kelas kakap. Sekarang, kalo kita udah buang2 duit rakyat Rp 6 miliar untuk Bush, maka hasilnya harus lebih dari itu. Angka Rp 6 miliar itu kan angka normal, kalo mengikuti tradisi bangsa yang suka mem-mark up dana, maka kita buat saja angkanya menjadi Rp 10 miliar.
Nah, anggap saja, kita modal Rp 10 miliar dan itu belum termasuk angka kerugian lumpuhnya Bogor selamaa satu hari. kita pakai hitungan kasar saja, gimana kalo total modal kita Rp 50 miliar. Setuju? Baiklah, klo begitu, duit yang balik harus lebih dari itu! Nah, katanya AS lewat Presidennya, akan bantu soal pendidikan, flu burung hingga sistem peringatan dini tsunami. Kalau ternyata itu tak ada hasilnya, maka kita rugi dunk.
Dan kalau Bush datang ke Indonesia untuk kepentingannya dia, maka itu semua hanya Nggedebus saja. Kalo SBY tidak bisa dapat lebih dari Rp 50 miliar untuk rakyat jelata dari kunjungan Bush, maka itu hanya Nggedebus saja. Dan pertemuan empat mata tidak ada artinya. karena apa? Itu semua hanya Nggedebus saja!

NB. "Kula niki ora tau Nggedebus, tenanan Ki Waras Awal iso nyantet wong," kata Bung Kriwil. (Saya ini tidak pernah bohong, benar jika Ki Waras Awal bisa nyantet orang)

Sunday, November 19, 2006

Menembus ruang dan waktu, 30 detik bersama David dan Luna, bicara soal Presiden Indonesia & 3x3

Lampu merah menyala dan David mendekati saya. Sebuah lagu yang tidak jelas isinya karena kebisingan suara termuntahkan dari mulut kecilnya. Untuk jadi seorang penyanyi, saya rasa David kurang tepat, intonasinya tidak jelas dan mungkin juga ucapannya cenderung malas.
Ya, David mengamen di hadapan saya. Dan itu hal yang biasa ditemui di sudut-sudut Kota Buaya ini. Anak kecil yang usianya 10 tahunan mengusik ketenangan dan meminta perhatian dari saya. Sedikit saya gambarkan kondisi David saat itu, kaos oblong warna kuning yang sudah agak kumal dan kedodoran. Celana pendek warna coklat sedikit sobek di beberapa bagiannya dan wajah yang tampak tak punya dosa.
10 Detik pertama pertemuan saya dan David, tanpa kata selain sebuah lagu yang dinyanyikan David dan tidak saya tahu apa artinya. Saya mencoba menembus ruang dan waktu yang ada dan berkata, “Kamu sekolah tidak?”.
“Sekolah dong,” jawabnya.
“Kelas berapa?,” tanya saya lagi.
“Tiga SD,” balasnya.
10 Detik kedua, saya dan David larut dalam pertanyaan soal David yang masih bersekolah atau tidak. Dan kini, saya merasa tidak terusik tentang keberadaannya. Kota Buaya makin bising saja yang menyesakan dada. Asap knalpot kendaraan makin menggila dan saya terusik karenanya.
“Kalau kamu sekolah, coba 3x3 berapa?,” tanya saya.
“9,” jawabnya pendek.
Lampu merah mulai meredup dan tergantikan warga hijau. 10 Detik berikutnya, saya mengetes David dan berhasil, segenggam uang recehan kini berpindah tangan sudah.
Beberapa hari berikutnya, saya ketemu Luna dan sama halnya, Luna tak beda dengan David. Kata-kata mengalir deras dari mulut mungilnya saat lampu merah menyala. Di hadapan saya, Luna berkata-kata yang tidak juga saya ketahui apa maksudnya. Dan ini mungkin karena bisingnya Kota Buaya. Anjing!
10 Detik pertama, tak ada kata terucap. Dan untuk kali kedua, saya kembali mencoba menembus ruang dan waktu yang ada dan berkata, “Kamu sekolah tidak?”.
“Tidak,” jawabnya.
“Kalau tidak tahu 3x3 nggak?,” tanya saya.
“Tau dong…emmm 9,” jawabnya cepat.
10 Detik berikutnya saya dan Luna larut dalam hitungan angka. Luna mengaku tidak sekolah dan dia tau 3x3.
“Kalau Presiden Indonesia siapa?,” tanya saya selanjutnya.
“Ndak tau,” kata dia.
“Masak sih, ndak tau,” balas saya.
“Emmm…ndak tau,” jawab Luna.
10 Detik terbuang sudah dan lampu merah telah tertelam lampu hijau dan uang recehan berpindah tangan dengan cepat dengan meninggalkan kenangan bersamanya.
Ini bukan soal uang recehan yang berpindah cepat dari tangan saya ke tangan David atau Luna atau soal 3x3 dan Presiden Indonesia. Tapi soal ruang dan waktu. Kadang, kita membatasi ruang dan waktu kita terhadap sesuatu yang kita anggap tidak penting dan tidak perlu. Ruang dan waktu kita hanya kita gunakan, untuk kita dan segala urusannya yang tidak perlu mengindahkan kehidupan orang lain.
David dan Luna hanya sebagian manusia yang tersisih dari ruang dan waktu manusia pada umumnya. Dan mungkin akan semakin tersisih kehidupannya, jika 30 detik saja tidak ada ruang dan waktu untuk mereka.

NB. Bung Kriwil sibuk jadi tim sukses Pilkada di Kota Buaya ingin ketemu David dan Luna biar calonnya dapat simpati dari masyarakat.

Wednesday, November 08, 2006

TUKANG SULAP

Pepatah kuno mengatakan, Di mana kemauan, disitu ada jalan.
Kalau mengaca dari pepatah itu, maka selayaknya kita memberi acungan jempol pada pemerintah Indonesia yang memiliki kemauan besar memberikan pelayanan terbaik dalam kunjungan Presiden AS George Bush akhir bulan November di Bogor.
Bagaimana tidak, dengan kemauan besar akhirnya berbagai persoalan mengenai persiapan kedatangan Bush akhirnya bisa teratasi. Bahkan, bak seperti tukang sulap, pemerintah Indonesia juga bisa merubah sejumlah sarana umum menjadi sarana privat yang khusus dibuat untuk Kawan Bush.
Seperti magic atau Bandung Bondowoso, pemerintah bisa menyulap tanam yang dipenuhi dengan rumput yang indah menjadi sebuah helipat atau tempat mendaratnya heli milik Kawan Bush. Sebuah lapangan sepakbola juga disiapkan untuk pendaratan heli yang mengangkut mobil Kawan Bush. Bahkan, tiang gawang dan bendera yang biasanya mengibarkan Merah Putih harus dikorbankan sementara waktu demi Kawan Bush.
Soal anggaran juga tak kalah “Wow” karena paling tidak dibutuhkan dana Rp 6 miliar untuk kunjungan ini. Kalau, Kawan Bush di Indonesia 6 hari, maka dalam satu hari demi Kawan Bush, pemerintah Indonesia menyediakan dana Rp 1 miliar.
Kalau kita tanya Kang Rohim, tukang becak di Malioboro, dirinya kita tanya pernah lihat uang Rp 1 miliar belum. Atau kita coba tanya ama Kang Rohim soal subsidi yang diberikan pemerintah terhadap dirinya dan keluarganya sudah mencapai Rp 1 miliar atau belum.Atau lebih baik kita tanya saja, Turiyem, korban gempa bumi di Imogiri, Bantul, jika diberi bantuan Rp 1 miliar dari pemerintah untuk satu kampong akan digunakan untuk apa. Atau Turiyem kita minta mengkalkulasi bantuan pemerintah untuk korban gempa bumi di kampungnya telah mencapai angka Rp 1 miliar atau belum.
Kalau jawaban dari Kang Rohim dan Turiyem bertolak belakang dengan dana kunjungan Kawan Bush, jadinya aku bertanya-tanya, pemerintah Indonesia itu ada kemauan untuk menjadi abdi rakyat tidak. Kalau untuk pemimpin tetangga yang sering menginjak-injak negara ini saja dianggarkan Rp 6 miliar, tapi jika untuk rakyatnya masih pokil minta ampun, pantes donk saya menanyakan hal itu. Ada kemauan nggak seh pemerintah Indonesia menjadi abdi rakyat???

NB. Bung Kriwil, pernah tanya Turiyem, katanya pejabat yang inisialnya JeKa hanya Omdo (omong doank). Bung Kriwil juga bilang kalau dirinya ingin jadi Presiden AS dan langsung berkunjung ke Indonesia biar bisa bikin repot pemerintah Indonesia.